13 Mei 2003

Siklus Harga Hasil Tani

Menjadi petani di negeri ini sungguh tidak mengenakkan. Petani di negeri yang bernama Indonesia ini lebih banyak dibelit kesengsaraan dan berkubang dalam nasib buruk. Petani di negeri ini nyaris tak bisa berharap dapat menikmati kesenangan. Bahkan sekadar menyemai harapan pun mereka seolah tak layak atau tak berhak. Mimpi-mimpi mereka acap sirna terenggut tangan-tangan tak terlihat.

Musim panen, bagi petani, mestinya menjadi saat-saat yang menyenangkan dan menggairahkan. Tapi tidak bagi petani di negeri ini. Musim panen bagi mereka bukan saat-saat yang memungkinkan harapan dan segala mimpi bisa digapai menjadi kenyataan. Musim panen di negeri ini sering menjadi sumber kedukaan, kepahitan, dan kegetiran kalangan petani. Musim panen di negeri ini acap menjadi sumber malapetaka bagi petani: karena hasil panen menjadi nyaris tak berharga. Harga hasil tani anjlok ke tingkat yang hampir tak masuk akal. Harga cabe merah pada saat panen, misalnya, terseret hanya Rp 200 per kg. Padahal ketika panen belum tiba, harga cabe merah ini sempat melambung hingga Rp 40.000 per kg.

Kenyataan itu serta-merta menjadi ironi yang amat getir justru karena hampir selalu berulang dan nyaris tak pernah bisa dielaki. Seolah sebuah siklus, pada setiap musim panen harga hasil tani hampir selalu anjlok tak tertolong. Langkah-langkah antisipasi pemerintah pun, dalam kaitan ini, praktis tumpul alias kedodoran. Sekarang ini, misalnya, harga gabah di tingkat petani melorot drastis jauh di bawah patokan harga pembelian pemerintah sebesar Rp 1.230 per kg gabah kering giling (GKG). Padahal saat musim paceklik, harga gabah ini lumayan memberikan ruang bagi petani untuk menikmati selisih untung.

Menyedihkan pula bahwa dalam kondisi seperti itu petani malah ditunjuk seolah sebagai pihak yang salah. Harga gabah di tingkat petani pada musim panen sekarang ini anjlok antara lain karena faktor mutu gabah yang sangat tidak mendukung. Persisnya, menurut Suryana, kandungan airnya jauh di atas syarat yang digariskan pemerintah dalam konteks pembelian gabah petani.

Kalangan petani sendiri, tentu, tak menghendaki itu. Bagaimanapun mereka pasti berharap gabah mereka bermutu bagus. Tapi ketika kenyataan berbicara lain, apakah benar itu kesalahan mereka? Terlebih, bukankah jajaran pertanian sendiri turut terlibat -- paling tidak melalui penyuluhan-penyuluhan? Bahkan, sebelum musim panen, tidakkah jajaran pertanian ini justru tak ragu menyatakan optimis bahwa hasil panen petani padi bakal bagus. Tetapi kini kenapa soal buruknya mutu gabah ini seolah melulu menjadi kesalahan petani?

Namun kalaupun mutu gabah petani ini ternyata bagus, itu belum tentu serta-merta membuat petani bisa meraup untung. Nasib mereka kemungkinan tetap saja terpuruk. Seperti sudah-sudah, musim panen malah membuat mereka merana dan getir: harga gabah tetap terjerembab.

Dengan kata lain, tak ada jaminan bahwa mutu gabah bagus lantas otomatis membuat harganya di musim panen tak terjerembab di level yang mengiris hati petani. Faktor lain sangat mungkin tampil menjegal peluang petani bersuka-cita bisa menikmati harga bagus. Sebut saja beras impor membanjir.

Kalau begitu, apakah benar kran impor beras perlu ditata lagi? Misalnya, seperti desakan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, bea masuk beras ditingkatkan ke level yang niscaya membuat impor beras tak menjanjikan banyak keuntungan.

Pemerintah sendiri tampaknya sudah melirik alternatif tersebut. Bahkan, menurut Mentan Bungaran Saragih, forum rakor ekonomi sudah menyetujui bahwa bea masuk beras ini dinaikkan menjadi Rp 510 per kg. Tetapi, katanya, entah kenapa menkeu selaku otoritas mengenai tarif bea masuk ini tak kunjung merealisasikan keputusan rakor ekonomi itu.

Kita tak tahu apakah bea masuk beras ini benar akan dinaikkan menjadi Rp 510 per kg -- atau berapa pun. Atau mungkin justru sebaliknya: soal itu akhirnya menguap begitu saja. Menkeu, dalam kaitan ini, tentu memiliki alasan atau pertimbangan-pertimbangan spesifik.

Namun, terus-terang saja, kita tetap ragu bahwa andai bea masuk beras ini dinaikkan pun -- bahkan hingga ke level yang tak pernah terkira sekalipun -- akan benar-benar efektif menyelamatkan nasib petani. Dengan kondisi birokrasi yang demikian bobrok, peningkatan tarif bea masuk beras bisa-bisa hanya menjadi ajang perselingkuhan dalam rangka perburuan rente ekonomi. Dengan kata lain, tarif bea masuk beras yang dikerek ke level amat tinggi pun amat boleh jadi tetap saja tak bisa membendung siklus anjloknya harga gabah di tingkat petani.

Itu berarti, strategi atau politik kebijakan di sektor pertanian perlu dirumuskan ulang. Berbagai pihak terkait perlu duduk bersama menyusun strategi baru yang lebih komprehensif, harmonis, tidak bias, dan benar-benar konsisten serta konsekuen propetani. Dengan itu, barangkali, siklus anjloknya harga hasil tani bisa diharapkan terputus.***

Jakarta, 13 Mei 2003

Tidak ada komentar: