02 Mei 2003

PTKP dan Potensi Pajak

Pajak mesti mengusung semangat keadilan. Tak seharusnya pajak diberlakukan dengan mengabaikan kondisi-kondisi tertentu yang dihadapi kalangan wajib pajak. Jika tidak, pajak jelas menjadi instrumen yang menyengsarakan. Terlebih jika hasil penerimaan pajak ternyata banyak mengalami kebocoran atau penyimpangan ketika digunakan mendanai penyelenggaraan negara.

Karena itu, kita amat menghargai sikap Dirjen Pajak yang responsif terhadap tuntutan serikat pekerja dan buruh. Pihak terakhir ini meminta agar batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dinaikkan dari Rp 240.000 menjadi Rp 1 juta per bulan.

Memang, tuntutan itu mengancam potensi penerimaan jadi ciut. Menurut perhitungan, jika PTKP dinaikkan dari Rp 240.000 menjadi Rp 1 juta per bulan, potensi penerimaan negara senilai Rp 3 triliun jadi menguap. Di tengah kondisi APBN yang didera defisit demikian menganga, potensi kehilangan penerimaan sebesar itu jelas lumayan signifikan.

Tetapi di sisi lain, angka itu juga menjadi relatif tak seberapa jika disangkutkan dengan rasa keadilan di kalangan wajib pajak, terutama mereka yang tergolong lapisan bawah seperti buruh dan karyawan rendahan. Bagaimanapun, bagi mereka, kenaikan PTKP dari Rp 240.000 menjadi Rp 1 juta per bulan, sungguh terasa berarti. Itu akan langsung berpengaruh terhadap daya beli mereka.

Kenaikan PTKP dalam hitungan signifikan, bagi masyarakat lapisan bawah, amat bermakna di tengah kehidupan ekonomi yang semakin mengeras sekarang ini. Terlebih upah minimum provinsi hanya menyentuh kebutuhan minimum pekerja dan belum mampu memenuhi kebutuhan fisik mereka.

Itu pula yang membuat kenaikan PTKP dalam hitungan signifikan serta-merta bisa menorehkan rasa keadilan di kalangan wajib pajak lapisan bawah. Mereka akan menilai bahwa keringanan pajak tak hanya diberikan kepada masyarakat kelompok atas.

Awal tahun ini pemerintah menggelar kebijakan fiskal sebagai "kompensasi" atas serangkaian kebijakan yang membuat harga barang dan jasa naik. Kebijakan yang dikenal sebagai stimulus fiskal ini bernilai Rp 6 triliun. Itu berupa penundaan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM), juga penurunan tingkat pajak penghasilan (PPh) bagi pedagang sektor tertentu.

Tetapi stimulus fiskal ini relatif amat sedikit menyentuh masyarakat lapisan bawah seperti kalangan buruh dan karyawan rendahan. Bagaimanapun, penundaan pengenaan PPN dan PPnBM ataupun penurunan tingkat PPh lebih tertuju kepada lapisan masyarakat menengah-atas. Boleh diyakini, amat sedikit masyarakat lapisan bawah bisa menikmati keringanan pajak itu. Dilihat dari segi parameter saja -- barang mewah -- jelas sekali kepada siapa kebijakan itu ditujukan.

Karena itu pula, kalau pemerintah tak responsif terhadap tuntutan kalangan karyawan dan buruh -- PTKP tak dinaikkan -- rasa ketidakadilan segera tertoreh. Bagi kalangan buruh dan karywan rendahan, terutama, pajak akan terasa sebagai instrumen yang menyengsarakan.

Dirjen Pajak sendiri sudah memastikan bahwa tuntutan kalangan karyawan dan buruh mengenai kenaikan PTKP ini akan dikabulkan. Yang belum jelas adalah besaran kenaikan itu sendiri. Tentu kita berharap agar kebijakan tentang kenaikan PTKP ini tak terkesan sekadar basa-basi atau pura-pura mengakomodasi aspirasi rakyat kecil. Kenaikan PTKP seyogyanya dilakukan dalam hitungan signifikan. Minimal sesuai tuntutan kalangan karyawan dan buruh: naik dari Rp 240.000 menjadi Rp 1 juta per bulan.

Namun, tentu saja, bersamaan dengan itu pemerintah -- terutama Ditjen Pajak -- dituntut makin bekerja keras menggali penerimaan pajak. Kenaikan PTKP jangan sampai membuat target penerimaan pajak tahun ini sebesar Rp 213,8 triliun jadi tak tercapai.

Dalam konteks itu, Ditjen Pajak harus kian kreatif dan konsisten melakukan ekstensifikasi maupun intensifikasi pajak. Berbagai kemungkinan yang membuat tax ratio semakin meningkat harus terus dicari. Terlebih kita tahu bahwa sejauh ini tax ratio kita, dibanding dengan di negara-negara lain, masih relatif rendah. Masih banyak warga masyarakat yang sesungguhnya potensial belum bisa dijaring menjadi wajib pajak. Bahkan mereka yang sudah nyata-nyata terdaftar sebagai wajib pajak pun tak sedikit yang berupaya melakukan penghindaran atau pengemplangan pajak.

Tingkat kepatuhan kalangan wajib pajak, apa boleh buat, memang masih memrihatinkan. Tak heran jika tunggakan pajak pun bisa menggunung hingga senilai Rp 17 triliun.

Karena itu pula, jajaran Ditjen Pajak dituntut pula terus mengasah kemampuan dalam rangka intensifikasi pajak. Bagaimanapun, setiap celah yang memungkinkan wajib pajak menghindari kewajiban harus bisa ditutup. Untuk itu, strategi dan metode untuk menggali penerimaan pajak ini harus terus dieluasi -- dan jika memang perlu diganti. Di sisi lain, langkah-langkah terobosan yang membuat layanan pajak kian mudah dan nyaman harus pula terus dilakukan.

Singkat kata, kenaikan PTKP jangan membuat potensi penerimaan pajak benar-benar menguap.***

Jakarta, 2 Mei 2003

Tidak ada komentar: