25 Maret 2003

Modal Usaha Asuransi

Kita tidak kaget ketika terungkap bahwa belum lama ini pemerintah menjatuhkan sanksi pembatasan kegiatan usaha terhadap dua asuransi umum dan satu asuransi jiwa. Mereka adalah PT Ganesha Danamas dan PT Securindo Adigama -- masing-masing perusahaan asuransi umum -- serta PT Inda Tamporok, perusahaan asuransi jiwa. Dengan terkena sanksi pembatasan kegiatan usaha, ketiga perusahaan asuransi itu tak boleh lagi menerbitkan polis baru.

Kita menganggap sanksi itu wajar dan semestinya, karena industri asuransi nasional memang tidak sehat. Dalam konteks ini, tingkat kecukupan modal -- lazim dikenal sebagai ratio based capital (RBC) -- kebanyakan perusahaan asuransi kita tergolong tidak memadai. Hanya sedikit perusahaan asuransi yang memiliki tingkat RBC jauh di atas patokan minimal yang digariskan dalam ketentuan pemerintah. RBC Ganesha, Securindo, dan Inda, misalnya, konon masing-masing terpuruk di bawah patokan yang harus bisa mereka penuhi pada akhir 2002, yaitu sebesar 75 persen.

Padahal ketentuan tentang tingkat RBC itu sendiri pada akhir tahun ini meningkat lagi menjadi 100 persen, dan tahun depan menjadi 120 persen. Itu berarti, masalah menyangkut aspek permodalan ini akan kian menjadi beban berat yang harus dipikul industri asuransi nasional kita. Data menunjukkan, hingga triwulan III/2002, baru 20-an perusahaan asuransi yang memiliki RBC di atas 75 persen.

Karena itu pula, jika tak kunjung mengalami perbaikan modal, kita bisa menduga bahwa sejumlah perusahaan lain kemungkinan besar menyusul terkena sanksi pembatasan kegiatan usaha ini. Bahkan boleh jadi lebih tragis lagi: mereka terkena sanksi pencabutan izin usaha kalau pemerintah menilai prospek mereka sudah pupus karena tingkat permodalan sudah tak bisa lagi diharapkan membaik.

Sebelum Ganesha, Securindo, dan Inda sendiri, tujuh perusahaan lain sudah lebih dulu mengalami nasib serupa: terkena sanksi pembatasan kegiatan usaha. Itu suatu bukti bahwa problem RBC ini memang serius membayangi industri asuransi nasional kita. Itu juga bukan problem yang baru menggejala kemarin sore, melainkan sudah mengundang perhatian sejak industri asuransi nasional tumbuh bak cendawan di musim hujan.

Seperti dialami juga oleh industri perbankan nasional, penyebab utama tumbuhnya penyakit dalam industri asuransi kita ini adalah regulasi yang terlampau longgar di waktu lalu. Persisnya, syarat modal minimal untuk mendirikan perusahaan asuransi kelewat ringan. Dengan hanya berbekala modal minimal sebesar Rp 2 miliar (asuransi jiwa) dan Rp 3 miliar (asuransi kerugian), dulu orang memang dibuat sangat gampang mendirikan perusahaan asuransi. Karena itu, secara keseluruhan perusahaan asuransi di dalam negeri tumbuh bak cendawan di musim hujan.

Kenyataan itu segera menjadi masalah, karena kegiatan usaha mereka tak bisa tumbuh melejit bak meteor. Itu pula yang kemudian menghamparkan kenyataan bahwa kebanyakan perusahaan asuransi kita memiliki modal jauh di bawah ideal. Depkeu pernah menyebutkan, secara umum tiap perusahaan asuransi ini minimal seharusnya memiliki modal sebesar Rp 50 miliar. Kenyataannya, masih menurut Depkeu, hanya 24 persen dari 168 perusahaan asuransi yang kini beroperasi memiliki modal sekitar angka itu.

Dengan kata lain, kebanyakan industri asuransi nasional ini dalam kondisi sulit bisa survive jika tak segera memperoleh injeksi modal tambahan. Karena itu, sekali lagi, ke depan ini perusahaan yang terkena sanksi pembatasan kegiatan usaha atau bahkan pencabutan izin usaha bisa kian banyak lagi.

Namun injeksi modal baru rupanya sulit bisa diperoleh kalangan perusahaan asuransi nasional ini. Buktinya, itu tadi, sekadar memenuhi ketentuan RBC 75 persen pada akhir tahun lalu saja, kebanyakan perusahaan sudah megap-megap. Sementara, seperti sudah disinggung, tingkat RBC ini masih akan meningkat lagi.

Entah apa yang membuat orang cenderung enggan menginjeksikan dana untuk tambahan modal ke jajaran perusahaan asuransi ini. Boleh jadi, mereka miris melihat persaingan yang kian ketat seiring era globalisasi. Mungkin orang-orang berduit tak mau menanggung risiko: dana mereka amblas begitu saja karena perusahaan yang mereka injeksi kalah bersaing oleh perusahaan-perusahaan yang sudah telanjur established atau termasuk raksasa multinasional.

Di lain pihak, pemerintah tak mungkin bisa diharapkan menebar kebijakan seperti telah ditempuh terhadap perbankan: melakukan program rekap modal. Ini bukan sekadar perkara anggaran negara telanjut terbatas, melainkan terutama karena program seperti itu ternyata sangat ruwet. Pemerintah, juga DPR, tampaknya tak mau mengulangi keruwetan serupa.

Jadi, solusi atas masalah kecukupan modal ini harus jadi pemikiran pelaku usaha asuransi sendiri. Jangan bersandar pada pemerintah.***
Jakarta, 25 Maret 2003

Tidak ada komentar: