18 Maret 2003

Titik Keseimbangan SBI

Dalam beberapa pekan terakhir, tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) meluncur turun sampai puluhan basis poin. Hasil lelang pada 5 Maret lalu, misalnya, bunga SBI berjangka tiga bulan turun sebesar 71,385 basis poin menjadi 11,96 persen dari 12,68 persen pada pekan sebelumnya. Dalam lelang awal Februari silam, bunga SBI tiga bulan ini turun 25,707 basis poin. Sementara pada lelang Januari turun 17,78 basis poin.

Di lain pihak, bunga SBI satu bulan hasil lelang 12 Maret lalu terpatok sebesar 11,39 persen. Itu turun 58 basis poin dari 11,97 persen pada lelang 5 Maret lalu. Penurunan tersebut tertinggi dalam satu tahun terakhir. Penurunan yang mendekati hasil lelang terakhir, yakni sebesar 33 basis poin, terjadi pada 5 Juni tahun lalu.

Di atas kertas, penurunan bunga SBI ini niscaya mendorong bunga simpanan di perbankan -- khususnya deposito -- tertekan turun juga -- meski tidak selalu otomatis. Kecenderungan tersebut pada gilirannya mengondisikan bunga kredit bank melorot. Itu berarti, bank-bank bisa diharapkan lebih terdorong melakukan ekspansi kredit. Dengan demikian, sektor riil bisa bergeliat lebih cepat. Kalau sudah begitu, pemulihan ekonomi nasional pun hampir pasti bergulir makin kencang.

Bagi pemerintah sendiri, penurunan bunga SBI ini bisa berdampak positif terhadap sisi pengeluaran. Itu terutama terkait dengan bunga obligasi rekap di sejumlah perbankan. Penurunan SBI, notabene sejauh ini sudah terbilang signifikan, niscaya mengurangi beban bunga obligasi rekap yang harus dikeluarkan pemerintah.

Meski begitu, tren penurunan bunga SBI ini juga kemungkinan menorehkan sisi lain yang bisa tergolong rawan buat kepentingan nasional. Jika penurunan yang sudah lumayan signifikan itu masih saja terus berlanjut, implikasi-implikasi serius segera menggejala. Sebut saja, masyarakat bisa beramai-ramai mengalihkan investasi di perbankan -- berupa deposito -- ke alternatif yang lebih menjanjikan keuntungan. Masyarakat tak lagi tergiur dan tak merasa nyaman menyimpan dana di bank. Mereka tergerak mengalihkan investasi itu ke instrumen lain di luar perbankan -- entah berupa portofolio saham, obligasi, atau surat-surat utang lain.

Tendensi ke arah itu bahkan sudah mulai terlihat nyata:
transaksi produk-produk reksadana belakangan ini mencelat. Data menunjukkan, pada akhir 2002 dana yang dikelola reksadana ini mencapai sekitar Rp 46 triliun. Tapi hanya dalam tempo sebulan kemudian, persisnya pada akhir Januari 2003 lalu, angka itu sudah membengkak menjadi sekitar Rp 56 triliun.

Boleh jadi, selama bunga SBI tak segera menanjak lagi, pengalihan investasi dari deposito ke produk-produk reksadana ini masih akan terus berlanjut. Kenyataan seperti itu bisa membuat bank menggelepar. Likuiditas mereka mungkin terganggu. Atau, ini yang lebih berkemungkinan, kemauan dan kemampuan mereka menyalurkan kredit serta-merta jadi menciut. Betapa tidak, karena dana untuk itu -- notabene hasil mobilisasi dana masyarakat -- banyak dialihkan nasabah ke luar bank.

Pada gilirannya, itu membuat penghasilan bank-bank atas jasa penyaluran kredit jadi melorot drastis. Ini bisa lebih parah bagi bank-bank rekap karena bunga obligasi rekap pun ikut-ikutan turun. Padahal, di sisi lain, overhead cost yang mereka keluarkan tak serta-merta mengikuti tren penghasilan. Akibatnya, jelas, bank-bank bisa menggelepar.

Dalam kaitan itu pula, kebangkitan sektor riil lagi-lagi tersendat. Apa boleh buat, karena kucuran kredit ternyata masih saja hanya menjadi mimpi. Justru itu, percepatan pemulihan ekonomi nasional juga tinggal menjadi angan. Terlebih jika itu dikaitkan dengan stabilitas kurs rupiah.

Kita terus-terang khawatir, penurunan bunga SBI membuat stabilitas kurs rupiah jadi goyah lagi. Maklum karena kepercayaan terhadap rupiah selama ini banyak terkait dengan tingkat bunga simpanan di bank. Jika bunga simpanan di bank ini turun drastis -- sebagai konsekuensi penurunan bunga SBI dalam hitungan signifikan --, boleh jadi orang cenderung enggan menggenggam lagi rupiah. Mudah ditebak, kalau sudah begitu, stabilitas kurs rupiah pun terkoyak. Konsekuensinya, pemulihan ekonomi yang sudah mulai terbangun bisa-bisa berantakan lagi.

Sejak jauh hari kita memang sangat berharap bunga SBI ini turun. Tapi, tentu, kita juga tak menginginkan penurunan itu demikian ektrem hingga potensial mengganggu sendi-sendi ketahanan dan proses ekonomi kita sendiri.

Karena itu, kita berharap agar Bank Indonesia segera bisa menemukan titik keseimbangan baru yang mengondisikan penurunan SBI benar-benar kondusif bagi kehidupan ekonomi kita. Itu berarti, Bank Indonesia perlu segera bertindak.***

Jakarta, 18 Maret 2003

Tidak ada komentar: