11 Maret 2003

Exit Strategy

Solusi alternatif exit strategy yang belum lama ini disodorkan sejumlah ekonom sungguh terasa membius. Soal pertumbuhan ekonomi, misalnya, mereka menyebut bahwa selepas kontrak Dana Moneter Internasional (IMF) dan pemerintah ini angka tentang itu bisa mencapai 6 sampai 7 persen per tahun atau dua kali lipat lebih dibanding dewasa ini. Justru itu, menurut mereka, pemulihan ekonomi nasional bisa berlangsung lebih cepat dibanding dalam kawalan IMF seperti selama ini.

Skenario Indonesia Bangkit -- demikian kelompok 35 ekonom itu menyebut konsep alternatif yang mereka sodorkan -- menyatakan bahwa itu dimungkinkan kalau saja pemerintah menerapkan skenario jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Skenario Indonesia Bangkit, tandas mereka, juga bisa diandalkan mampu menjawab masalah mendesak, seperti cash flow, ketahanan fiskal, juga neraca pembayaran.

Sekali lagi, solusi alternatif itu sungguh terasa membius -- saking amat mengesankannya. Konsep itu sendiri dirumuskan Rizal Ramli dan kawan-kawan untuk menandaskan bahwa peran IMF sama sekali sudah tak dibutuhkan. Bagi mereka, pemerintah sama sekali tak beralasan membuka kemungkinan memperpanjang kontrak dengan IMF -- bahkan meski cuma untuk hitungan sehari sekalipun.

Itu tak lain karena lembaga multilateral tersebut mereka nilai gagal memberikan resep-resep cespleng bagi pemulihan ekonomi nasional. Bahkan, seperti acap mereka paparkan dalam berbagai kesempatan, dalam sejumlah kasus, resep-resep IMF justru melahirkan kenyataan-kenyataan yang merugikan kepentingan nasional.

Kita sependapat bahwa program-program IMF dalam memulihkan ekonomi nasional tak sepenuhnya sesuai harapan -- dalam arti tak menjadi injeksi yang segera menyehatkan. Kita juga tak menampik kenyataan bahwa sepak-terjang IMF dalam merumuskan program-program pemulihan ekonomi kerap menjengkelkan: karena terkesan arogan dan cenderung memaksakan kehendak mereka. Terlebih bila program yang mereka paksakan itu terkesan menyelipkan kepentingan negara maju atas perekonomian kita.

Tapi kita juga jangan buru-buru terkesima oleh konsep ataupun argumen tentang Skenario Indonesia Bangkit ini. Kalau tidak, bisa-bisa kita terjebak oleh kekecewaan baru setelah kita dihadapkan pada kenyataan betapa berbagai program IMF selama ini tak benar-benar segera menyelesaikan krisis ekonomi yang membelit kita sejak medio 1997. Kita perlu bersikap waspada bahwa Skenario Indonesia Bangkit juga belum tentu serta-merta menjadi solusi alternatif yang benar-benar cespleng. Paling tidak, implementasi konsep tersebut jelas tak bisa semudah membalikkan tangan. Bagaimanapun, Skenario Indonesia Bangkit baru merupakan hipotesis yang belum teruji benar adanya.

Kita menghargai keinginan serta niat baik Rizal Ramli dan kawan-kawan dengan menyodorkan Skenario Indonesia Bangkit ini. Dengan itu, mereka mencoba meyakinkan kita bahwa tanpa bantuan program IMF pun kita bisa mengatasi krisis ekonomi. Bahwa kontrak pemerintah dengan IMF sama sekali tak beralasan diperpanjang karena kita bisa menegakkan kemampuan kita sendiri dalam mengatasi krisis ekonomi yang telanjur berkepanjangan ini.

Kendati demikian, kita juga beralasan merasa ragu bahwa Skenario Indonesia Bangkit akan serta-merta membawa kita terbebas dari belitan krisis ekonomi. Ini bukan semata karena skenario itu sendiri baru sekadar merupakan hipotesis, namun juga karena kita juga tak yakin bisa benar-benar mengimplementasikannya. Betapa tidak, karena justru di situ pula -- tahap implementasi -- sejatinya titik lemah kita selama ini.

Dalam banyak kasus, konsep-konsep indah dan brilian acap tak bermakna apa-apa pada setelah diimplementasikan di lapangan. Bahkan tidak jarang konsep indah itu malah menjadi jebakan yang menyakitkan akibat perilaku kita sendiri yang mudah tergoda melakukan penyimpangan di lapangan. Sekadar menyebut contoh, dana kompensasi bahan bakar minyak (BBM) -- konsep yang sebenarnya indah dalam rangka penghapusan subsidi -- ternyata tak sepenuhnya mencapai sasaran karena tindak penyimpangan di sana-sini.

Begitu juga dalam konteks pemulihan ekonomi. Program-program yang dirumuskan demikian bagus -- bersama IMF pula -- acap tak segera membawa perbaikan terhadap sasaran yang dituju karena pada tahap implementasi mengalami deviasi-deviasi. Kenyataan seperti itu tertoreh karena tarik-menarik kepentingan yang acap kental beraroma politis. Tengok saja program divestasi sejumlah bank ataupun privatisasi BUMN.

Walhasil, entah dengan menerapkan program IMF, Skenario Indonesia Bangkit, atau konsep pemulihan apa pun, ekonomi kita akan tetap cenderung berjalan di tempat selama kita tak memperbaiki diri. Kita sudah terlalu lama dan sudah teramat banyak berbuat sia-sia hanya karena kelemahan kita dalam mengimplementasikan konsep atau program pemulihan.***

Jakarta, 11 Maret 2003

Tidak ada komentar: