21 Maret 2003

Contingency Plan

Perang akhirnya pecah. AS mulai menggempur Irak. Tak ada yang bisa memastikan, sampai berapa lama perang ini akan berlangsung: apakah sepekan, sebulan, tiga bulan, setahun ... Tapi satu soal sudah pasti: perang ini melahirkan implikasi global di bidang politik maupun ekonomi-bisnis.

Bahkan sebelum perang meletus, implikasi itu sudah nyata menggelombang. Dalam dunia politik, kita lihat dunia terpolarisasi antara kelompok negara pro-AS dan kelompok negara yang menolak rencana serbuan militer ke Irak. Dalam kaitan ini pula, AS terang-terangan melecehkan keberadaan PBB. Sementara aksi-aksi demo yang menentang perang juga riuh-rendah menggelombang di mana-mana.

Dalam dunia ekonomi-bisnis, implikasi rencana perang yang dicanangkan AS ini membuat harga minyak dunia melejit signifikan. Hanya dalam tempo beberapa pekan, harga minyak ini jauh meninggalkan patokan yang dibuat OPEC -- sebesar 22-28 dolar per barel -- ke level di atas 35 dolar per barel. Efek berantai pun segera merebak ke mana-mana dan ke berbagai sektor.

Di dalam negeri, kecemasan dunia terhadap perang AS-Irak ini membuat dunia industri kelimpungan: kalangan pembeli di luar negeri menunda atau bahkan membatalkan pembelian aneka komoditas ekspor. Kalaupun pengiriman barang masih berjalan, ongkos transportasi berlipat -- terutama sebagai dampak kenaikan harga minyak dunia. Belum lagi biaya asuransi pun ikut-ikutan meningkat.

Sementara itu, kondisi pasar ekspor pun berubah menjadi buram. Permintaan di negara-negara utama tujuan ekspor kita menurun -- karena daya beli konsumen melorot akibat efek domino kenaikan harga minyak dunia, atau karena pasar mencemaskan perang.

Singkat kata, sebelum AS menyerbu Irak pun, kehidupan ekonomi-bisnis global sudah buram. Justru itu, setelah perang itu kini meletus -- tanpa kepastian sampai berapa lama akan berlangsung -- kehidupan ekonomi-bisnis global ini jelas bakal kian buram lagi. Amat mencemaskan. Resesi global membayang terang-benderang. Padahal proses recovery senantiasa membutuhkan waktu lama.

Karena itu, berbagai negara lantas menyiapkan langkah-langkah darurat (contingency plan) yang meliputi berbagai sektor. Pemerintah Jepang dan AS, misalnya, bersepakat menjalin kerja sama di bidang pasar uang dan pasar saham. Intinya, penyiapan langkah-langkah darurat tersebut merujuk pada pengamanan atas kemungkinan gejolak pasar uang dan pasar saham manakala perang AS-Irak pecah.

Di lain pihak, pemerintah Taiwan bahkan mengisyaratkan akan mengambil langkah-langkah lebih drastis -- antara lain mengaktifkan Dana Stabilitas Nasional (NSF) atau menghentikan sama sekali aktivitas pasar modal jika gejolak menjadi tak terkendali. Dana yang tersimpan di NSF siap digunakan untuk membeli saham-saham yang mengalami penurunan harga sangat tajam.

Sementara pemerintah Korsel menyatakan akan mengintervensi pasar valas jika memang diperlukan dalam rangka menstabilkan pasar. Langkah lain yang mereka pertimbangkan adalah memberikan pembebasan pajak (tax break) dan injeksi likuiditas ke sistem finansial.

Pemerintah kita sendiri tak terkecuali sudah menyiapkan contingency plan ini. Namun, terus-terang, contingency plan yang disiapkan pemerintah untuk menghadapi dampak perang AS-Irak ini amat tidak komprehensif. Juga tak bersipat taktis-strategis sesuai kondisi-kondisi tertentu yang diskenariokan menurut perkembangan yang terjadi.

Apa yang disiapkan pemerintah itu lebih terbatas menyangkut pengamanan pasok bahan bakar minyak di dalam negeri. Persisnya: kalau impor minyak terganggu, pemerintah akan membeli minyak yang menjadi bagian para kontraktor bagihasil (KPS).

Lucunya, contingency plan itu justru ngawur: minyak eks KPS sulit diproses di kilang-kilang di dalam negeri. Apa boleh buat, karena kilang-kilang itu hanya cocok untuk jenis minyak yang kita impor dari Kuwait dan Saudi Arabia.

Dengan kata lain, contingency plan yang disiapkan pemerintah ini sulit diandalkan mampu menjawab kondisi darurat yang lahir sebagai dampak perang AS-Irak. Kita tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi. Kita hanya menangkap kesan bahwa pemerintah kita kurang serius mengantisipasi dampak perang AS-Irak ini.

Kesan tersebut makin gamblang tercermin lewat pernyataan kalangan pejabat yang sekadar meminta dunia usaha nasional agar bersiap menghadapi dampak perang AS-Irak. Jadi, persoalan yang dihadapi pemerintah dan dunia usaha seolah saling terpisah sehingga tak perlu dirumuskan contingency plan yang komprehensif dan drastis-strategis.***

Jakarta, 21 Maret 2001

Tidak ada komentar: