04 April 2003

Nilai Tukar Dolar

Apakah kedigjayaan dolar AS sebagai mata uang yang digunakan dalam transaksi internasional segera berakhir? Entahlah. Yang pasti, belakangan ini nilai tukar dolar terhadap euro memang terus terpuruk. Awal pekan ini, misalnya, di New York dolar AS melemah lagi ke posisi 1,0828 dolar per euro dari posisi penutupan perdagangan Jumat pekan lalu sebesar 1,0778 dolar per euro. Di sisi lain, terhadap yen, nilai tukar dolar AS ini juga melemah ke posisi 119,55 yen dari semula 119,89 yen per dolar.

Banyak kalangan memperkirakan bahwa depresiasi dolar AS terhadap euro ini masih akan berlangsung. Ahli Strategi Mata Uang di Sydney at Westpac Banking Corp, Robert Rennie, misalnya, berani menyebutkan bahwa nilai tukar dolar terhadap euro akan terus melemah hingga paling tidak mencapai 1,1 dolar AS per euro. Tentang itu, seperti juga sejumlah kalangan lain, Rennie menunjuk perang AS-Irak sebagai faktor penekan. "Situasi di Irak yang makin parah dengan adanya aksi bom bunuh diri menambah risiko penurunan nilai tukar dolar AS berlanjut," katanya, Senin lalu.

Lalu apakah setelah kelak perang AS-Irak berakhir, kurs dolar ini -- khususnya terhadap euro -- serta-merta beranjak pulih lagi? Tampaknya sulit. Perang yang sudah berakhir belum tentu otomatis cepat-cepat mengangkat kembali nilai tukar dolar AS. Terlebih bila perang itu berlangsung lama. Bagaimanapun, ongkos perang harus dibayar. Ongkos tersebut terutama berupa resesi ekonomi global.

Dalam konteks itu, ekonomi AS kemungkinan termasuk paling parah dan menderita. Sebagai pihak yang begitu bernafsu menggempur Irak, AS jelas habis-habisan mengeluarkan ongkos. Tak pelak lagi, ekonomi mereka pun -- notabene sejak George W Bush tampil jadi Presiden AS tak terbilang bagus -- pasti babak-belur. Dihadapkan pada kondisi dunia yang terjebak resesi, kondisi itu tampaknya sungguh sangat tidak kondusif bagi pemulihan nilai tukar dolar AS yang telanjur terpuruk.

Kenyataan itu bisa lebih mungkin lagi jika dikaitkan dengan kecenderungan yang sekarang mulai diperlihatkan sejumlah negara: enggan menjadikan dolar AS sebagai jangkar cadangan devisa maupun sebagai mata uang dalam melakukan transaksi internasional. Mereka beralih ke euro. Iran, misalnya, disebut-sebut sudah mulai mengikuti langkah Irak: mengganti cadangan devisa dari dolar AS ke euro. Juga dalam transaksi penjualan minyak.

Malaysia juga sudah memperlihatkan gelagat ke arah itu. Dalam forum Asia-Europe Meeting (Asem), tahun lalu, PM Mahathir Mohammad melontarkan gagasan yang membuat panas pihak AS: negara-negara Asia perlu mengganti dolar AS dengan euro sebagai cadangan devisa. Mahathir beralasan, nilai tukar euro cenderung lebih kuat dan lebih stabil dibanding dolar AS.

Belum terungkap, negara mana saja yang terpengaruh gagasan Mahathir ini. Bahkan, memang, Malaysia sendiri belum ketahuan apakah sudah mulai mempraktikkan gagasan itu. Namun sudah pasti, dalam skala mikro, gagasan tersebut mulai ramai disambut positif sejumlah kalangan. Di dalam negeri saja, Pertamina sudah tandas menyatakan bahwa transaksi ekspor minyak kini bisa dilakukan dalam euro. Begitu juga kalangan industri persepatuan: mereka bertekad mengubah transaksi ekspor dari dolar ke euro.

Kalau saja tren pengalihan transaksi internasional dari dolar ke euro ini terus membesar dan menggelombang, nilai tukar AS niscaya tertekan. Terlebih bila itu bukan lagi ramai dilakukan orang sekadar di level mikro, melainkan sudah merupakan gerakan yang dilakukan banyak negara: kurs dolar AS terhadap euro niscaya rontok. Fakta sudah gamblang menunjukkan: bahkan hanya dilakukan sebuah negara sekelas Irak saja pada 2000, langkah itu sudah langsung membuat kurs dolar AS tersodok. Tindakan pemerintahan Saddam Hussein itu pula -- mengonversi cadangan devisa Irak ke euro -- yang belakangan terbukti menjadi tonggak awal depresiasi dolar AS ini.

Karena itu, bisa dibayangkan jika langkah serupa ramai-ramai dilakukan banyak negara lain. Bahkan jika dilakukan sebuah negara bernama RRC saja, nilai tukar dolar AS pasti makin amblas hancur-hancuran -- maklum karena RRC merupakan negara yang paling banyak memiliki devisa. Kalau sudah begitu, kedigjayaan dolar AS sebagai mata uang dunia ini praktis berakhir sudah.

Kemungkinan itu jelas harus kita cermati dan kita antisipasi. Paling tidak, cadangan devisa kita jangan lagi melulu didominasi oleh dolar AS. Dengan demikian, manakala nilai tukar dolar AS makin terpuruk dan sulit bangkit lagi, kita tak ikut bonyok.

Memang, kita harus jernih dan obyektif mengambil sikap tentang nasib kurs dolar terhadap euro ini. Kita tak boleh emosional. Tak tak bijak juga kalau kita lantas tenang-tenang saja di tengah tren yang sudah gamblang terhampar.***

Jakarta, 4 April 2003

Tidak ada komentar: