11 April 2003

Keengganan Bank

Mungkin benar bahwa perbankan nasional -- tak terkecuali bank BUMN dan bank-bank yang dikuasai pemerintah -- memang kurang memiliki kepedulian terhadap sektor riil. Lelang t-bodns (surat utang negara berjangka panjang) yang dilakukan Bank Indonesia, Selasa lalu, gamblang menggambarkan kecenderungan itu.

Lelang t-bonds senilai Rp 2,7 triliun itu diikuti 42 bidder. Ternyata, 33 bidder (78,4 persen) adalah kalangan perbankan nasional dan asing. Enam bidder lain adalah perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing serta tiga perusahaan efek.

Itu menunjukkan bahwa jajaran perbankan nasional sangat bernafsu membeli surat utang negara. Tak heran bahwa lelang t-bonds ini sampai mengalami kelebihan permintaan (over subscribe) sebanyak 298 persen.

Hasil lelang itu sendiri menunjukkan bahwa kalangan perbankan menyerap 92,3 persen t-bonds senilai total Rp 2,7 triliun itu. Kenyataan tersebut sekaligus menegaskan kenyataan bahwa kalangan perbankan nasional ini sekarang sedang menyimpan likuiditas tinggi.

Tapi bersamaan dengan itu, kian gamblang terkuakkan bahwa kalangan perbankan nasional ini kurang memiliki kepedulian terhadap sektor riil. Mereka terkesan kurang merasa tergerak menyalurkan dana di tangan mereka sebagai kredit. Mereka lebih merasa aman dan nyaman memanfaatkan dana itu dengan membeli surat utang atau Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ketimbang mengguyurkannya ke sektor riil dalam bentuk pinjaman.

Bagi perbankan nasional, investasi dalam surat berharga kini memang relatif aman serta memberikan keuntungan lumayan besar berupa penerimaan bunga. Tetapi itu mestinya tak mengabaikan fungsi intermediasi. Bagaimanapun sebagian dana masyarakat yang berhasil mereka himpun sepatutnya juga disalurkan kembali sebagai pinjaman alias kredit dalam jumlah relatif signifikan. Dengan demikian, sektor riil bisa bergerak. Itu, pada gilirannya, bisa menjadi penyelamat kehidupan ekonomi nasional secara keseluruhan dari kebekuan sekarang ini.

Memang, dalam menyalurkan kredit ini jajaran perbankan dituntut bersikap hati-hati (prudent). Tetapi kecenderungan yang diperlihatkan perbankan nasional sekarang ini agaknya sudah bukan lagi cerminan sikap prudent. Tampaknya, kecenderungan itu lebih merupakan gambaran bahwa idealisme dan militansi mereka dalam menumbuhgerakkan ekonomi nasional terbilang lembek. Mereka lebih memikirkan keuntungan sendiri secara maksimal lewat cara paling aman.
Karena itu, bagi mereka, surat utang ataupun SNI kini jadi pilihan utama dalam memanfaatkan likuiditas di tangan mereka. Sementara soal penyaluran pinjaman entah jadi prioritas ke berapa.

Betul, secara nominal kredit yang disalurkan perbankan nasional ini menunjukkan grafik menaik. Selama periode Oktober 2002 hingga Februari 2003, misalnya, data di Bank Indonesia memperlihatkan bahwa penyaluran dana oleh perbankan nasional naik Rp 30 triliun. Namun penyaluran dana ke SBI meningkat Rp 22,2 triliun dan ke surat berharga naik Rp 5,3 triliun. Sementara kenaikan penyaluran kredit hanya Rp 17 triliun.

Itu pula yang menorehkan fakta bahwa rasio pinjaman terhadap dana masyarakat (LDR) di kalangan perbankan nasional ini, seperti kata Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, tak pernah lebih dari 37 persen.

Boleh jadi, krisis perbankan pada 1998 merupakan pangkal penyebab sikap perbankan nasional sekarang ini -- cenderung enggan menyalurkan pinjaman dalam jumlah signifikan. Mungkin mereka trauma oleh risiko kredit macet yang telah membuat sejumlah bank dibekukan, dilikuidasi, atau diambil-alih pemerintah.

Mereka agaknya tak ingin terperosok ke lubang yang sama. Mereka amat tak menghendaki kalau-kalau rasio kecukupan modal (CAR) lantas melorot lagi gara-gara menyalurkan kredit dalam jumlah relatif banyak. Padahal untuk bisa mencapai tingkat CAR minimal yang dipatok Bank Indonesia amat tidak mudah dan sangat mahal. Terlebih Bank Indonesia sendiri kini menggariskan bahwa tingkat CAR minimal perbankan nasional ini harus memperhitungkan pula risiko pasar.

Tapi kalau berpijak pada perspektif lain, kecenderungan perbankan kita enggan menyalurkan kredit ke sektor riil ini merupakan cerminan tentang kerapuhan diri mereka sendiri menghadapi risiko. Sebab, selama tetap dalam melangkah koridor prudential, mengguyurkan pinjaman ke sektor riil niscaya tak mesti melahirkan bencana. Lagi pula, bukankah sudah gamblang bahwa krisis perbankan 1998 lebih merupakan akibat salah urus manajemen -- terutama jor-joran menyalurkan kredit ke kelompok usaha sendiri?

Selebihnya, mungkin benar keengganan menyalurkan kredit itu juga karena idealisme perbankan kita untuk menumbuhgerakkan sektor riil sudah sangat tipis.***

Jakarta, 11 April 2003

Tidak ada komentar: