08 April 2003

UU Bioterorisme

UU Keamanan Kesehatan Masyarakat -- lazim dikenal sebagai UU Bioterorisme -- yang segera diberlakukan pemerintah AS mulai Desember 2003, sesungguhnya merupakan kebijakan hambatan nontarif. Tapi itu terasa sah-sah saja karena masih dalam koridor Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

UU Bioterorisme merupakan perangkat yang dirumuskan pemerintah AS untuk menangkal risiko aksi terorisme melalui produk-produk pertanian. Untuk itu, undang-undang tersebut memberikan otoritas baru kepada Sekretariat Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat untuk melakukan aksi perlindungan atas keamanan persediaan pangan nasional AS dari ancaman kontaminasi yang disengaja.

Ketentuan yang termuat dalam undang-undang itu akan diterapkan pada semua produk pangan dan produk pakan ternak yang diatur oleh Food and Drug Administration (FDA), termasuk suplemen pangan, formula bayi, minuman, dan feed additive -- kecuali daging nonunggas, daging ayam, dan produk telur olahan yang diatur oleh US Department of Agriculture (USDA).

Berbagai peraturan itu antara lain registrasi fasilitas (pabrik) pangan. Semua industri pangan -- baik domestik maupun asing -- yang memroduksi, memroses, mengemas, atau menyimpan pangan untuk konsumsi di dalam negeri AS harus diregistrasi oleh paling lambat 12 Desember 2003. Registrasi terdiri atas penyediaan informasi yang mencakup nama perusahaan, alamat, dan aspek-aspek lain yang terkait.

Itu berarti, UU Bioterorisme niscaya membuat ekspor komoditas pertanian kita ke AS -- juga ke negara-negara lain kalau mereka menempuh langkah serupa -- akan menjadi amat sulit. Volume maupun nilai ekspor kita ke AS terancam. Paling tidak, komoditas ekspor kita menjadi lebih mahal -- karena berbagai persyaratan yang digariskan undang-undang itu -- niscaya memaksa kita mengeluarkan ongkos tambahan dalam jumlah lumayan. Sebut saja, salah satu draf pelaksanaan UU Bioterorisme ini mengharuskan eksportir memiliki agen di AS yang bertindak sebagai pihak yang melaporkan masuknya barang impor. Itu jelas akan menimbulkan biaya-biaya bagi eksportir.

Karena itu, kita menghargai langkah pemerintah yang resmi mengajukan penolakan terhadap dua draf pertama pelaksanaan UU Bioterorisme oleh pemerintah AS. Kedua draf tersebut mengatur soal pemberitahuan awal atas pengapalan/pengiriman produk (section 307) dan pendaftaran fasilitas produk makanan (section 305). Penolakan tersebut dinyatakan pemerintah Indonesia dalam position paper yang disampaikan kepada FDA pada 1 April 2003.
Tentu kita berharap penolakan itu membuahkan hasil. Dengan demikian, dari segi biaya, penerapan UU Bioterorisme oleh pemerintah AS ini tak membuat kinerja ekspor kita jadi tergerogoti.

Tapi di sisi lain, UU Bioterorisme ini seyogyanya membuat kita lebih tergerak membenahi sektor pertanian kita. Pembenahan di berbagai segi dan lini memang harus dilakukan. Komoditas ekspor kita di sektor pertanian ini bukan saja harus makin efisien dari segi proses produksi, aman dan higienis dari segi konsumsi, melainkan juga kian bernilai tambah.

Itu berarti, kegiatan agribisnis kita harus bisa makin jauh menyentuh ke hilir. Kita tak boleh puas hanya oleh capaian yang sekarang ini sudah kita rengkuh.

Terus-terang, dalam konteks itu kita masih prihatin. Agribisnis kita belum jauh menyeruak hingga ke hilir. Agribisnis kita masih relatif dangkal. Bahkan dalam kasus tertentu, kita tak tergerak mengolah komoditas tertentu menjadi produk agribisnis. Kayu manis, misalnya, sejauh ini masih kita ekspor dalam bentuk bahan mentah. Sentuhan agribisnis yang kita lakukan sebatas berupa pemilahan produk menurut jenis atau ukuran.

Padahal kita tahu, makin jauh kegiatan agribisnis ini menyeruak ke hilir, nilai tambah yang bisa kita nikmati justru makin tinggi. Kembali ke contoh kasus kayu manis tadi. Di luar negeri -- notabene merupakan pasar ekspor kayu manis kita --, komoditas itu diolah menjadi aneka rupa produk yang amat digandrungi konsumen. Masing-masing produk bernilai jauh berlipat dibanding saat masih berupa bahan mentah.

Begitu juga, sebagai contoh lain, komoditas kelapa sawit. Sejauh ini, hasil perkebunan kelapa sawit ini baru kita olah menjadi minyak sawit mentah (CPO). Padahal produk tersebut masih bisa dikembangkan lagi menjadi beraneka produk turunan.

Kita belum tahu persis, kenapa kehidupan agribisnis kita terkesan serba tanggung alias tidak total masuk jauh ke hilir. Kita hanya menangkap kesan bahwa itu terkait dengan faktor mental yang cenderung cepat puas diri -- di kalangan pengusaha maupun di jajaran pengambil kebijakan. Mengapa? Pertanyaan ini sungguh menuntut jawaban jujur dan terbuka. Jadi, hanya pihak-pihak bersangkutan yang layak memberi jawaban.***

Jakarta, 8 April 2003

Tidak ada komentar: