31 Januari 2003

Kebocoran Pinjaman

Ihwal kebocoran dana pinjaman luar negeri -- konon rata-rata mencapai 20 persen per tahun -- sebenarnya menegaskan kenyataan bahwa korupsi di negeri kita masih meraja-lela. Dengan itu, kita harus mengakui bahwa era reformasi -- yang lahir dengan semangat menggebu anti-KKN -- tak serta-merta menghapuskan praktik tilap-menilap uang negara ini.

Tapi, seperti bau busuk, kebocoran dana pinjaman luar negeri ini -- juga tindak korupsi yang lain -- sukar dibuktikan. Praktik itu hanya bisa dirasakan. Ketika sebuah jembatan yang baru saja diresmikan tiba-tiba saja ambruk, misalnya, feeling kita sudah bisa langsung menangkap ketidakberesan: proyek tersebut pasti mengalami penyimpangan teknis akibat praktik korupsi. Bahwa proyek tersebut ambruk karena kesalahan teknis, itu agak sulit diterima nalar.

Karena itu pula kita bisa memahami ketika Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie -- pihak yang kali pertama melontarkan ihwal kebocoran dana pinjaman luar negeri ini -- mengaku sulit membuat laporan resmi tentang kebocoran tersebut. "Kebocoran (dana pinjaman luar negeri) tidak perlu dilaporkan karena memang tidak ada yang bisa dilaporkan," katanya, menanggapi permintaan Bank Dunia agar ihwal kebocoran dana pinjaman luar sebesar 20 persen ini resmi dilaporkan.

Kita yakin bahwa Bank Dunia maupun jajaran kreditur lain sebenarnya sudah sejak lama mengendus ihwal kebocoran itu. Paling tidak, mereka bisa melihat bahwa kerapuhan ekonomi nasional yang menjadi biang krisis di negeri kita merupakan dampak praktik korupsi atas berbagai proyek yang selama ini mereka danai. Juga status kita sebagai salah satu negara terkorup di dunia, mestinya, tak membuat mereka seolah tak tahu-menahu ihwal kebocoran dana pinjaman luar negeri ini.

Tetapi, tampaknya, kalangan kreditur ini memang seolah menutup mata. Mereka pura-pura tidak tahu bahwa pinjaman yang mereka kucurkan mengalami kebocoran dalam jumlah yang relatif singnifikan. Ataukah, seperti tuduhan kalangan tertentu, mereka -- langsung maupun tidak -- justru turut terlibat dalam penggerogotan dana pinjaman luar negeri ini? Entahlah. Yang pasti, nalar kita menyatakan bahwa mereka memang mustahil sampai tak mengetahui soal itu.

Forum Consultative Group on Indonesia (CGI) sendiri, yang belum lama ini komit memberikan pinjaman baru senilai 2,7 miliar dolar, sebenarnya sudah menunjukkan kepedulian terhadap masalah penggunaan dana pinjaman yang mereka kucurkan. Itu mereka tunjukkan setelah pemerintahan Presiden Soeharto tak lagi berkuasa, yaitu dengan selalu menekankan masalah aid effectiveness dalam setiap forum sidang dengan pemerintah kita.

Namun itu akhirnya seperti sekadar formalitas atau bahkan basa-basi seorang cukong. Betapa tidak, karena mereka sendiri tak menebarkan mekanisme khusus yang bisa menjamin bahwa pinjaman mereka benar-benar efektif digunakan sesuai peruntukan. Paling tidak, kita tak pernah melihat tindakan nyata dan tegas dalam konteks penggunaan dana yang mereka kucurkan ini.

Boleh jadi, kalangan kreditur sendiri memang tak pernah serius mengenai masalah aid effectiveness ini. Bagi mereka, agaknya, soal yang lebih penting justru penyaluran pinjaman itu sendiri bisa lancar terlaksana dan terjamin bisa kembali. Maklum karena di balik penyaluran pinjaman itu, di samping soal hitungan bunga pinjaman, kreditur juga mengemban kepentingan dunia usaha di negara masing-masing. Kita tahu, setiap kali kita menerima pinjaman, kita diwajibkan membelanjakan dana itu terhadap produk maupun jasa di negara kreditur.

Karena itu, ihwal kebocoran dana pinjaman luar negeri ini bagi kalangan kreditur lebih merupakan isu murahan ketimbang masalah krusial yang harus dibongkar. Justru itu pula, kita harus maklum bahwa lembaga donor seperti Bank Dunia bukannya tergerak melakukan investigasi khusus ketika disinggung soal kebocoran dana pinjaman yang mereka kucurkan ini. Mereka malah seperti menantang: meminta bukti-bukti otentik dan membuat laporan resmi tentang itu. Jelas ini menggelikan karena mereka sendiri menyadari betul bahwa bukti-bukti resmi itu amat sukar bisa dikumpulkan, sehingga laporan mengenai kebocoran ini pun mereka yakini nyaris musykil bisa kita buat.

Lebih menggelikan lagi, kalangan kreditur ini tetap begitu "murah hati" pada kita. Kendati kita menyandang status sebagai salah satu negara terkorup di dunia, mereka tak pernah ragu memberikan pinjaman baru kepada kita. Kalaupun gelagat tentang itu mereka perlihatkan -- seperti berkali-kali pernah diperagakan Dana Moneter Internasional (IMF) --, itu terkesan sekadar basa-basi. Atau itu sekadar sebagai gebrakan dalam rangka menekan dan memaksakan kepentingan politis maupun ekonomis mereka atas negeri kita.***
Jakarta, 31 Januari 2003

Tidak ada komentar: