10 Januari 2003

Kenapa BBM Naik?

Menhub Agum Gumelar benar. Saat menghadapi aksi demo mahasiswa di Gorontalo, Rabu lalu, Agum menyebutkan bahwa pemerintah memiliki alasan kuat dalam menggariskan kebijakan menaikkan bahan bakar minyak (BBM) serta tarif listrik dan tarif telepon yang mengundang reaksi keras itu.

Sekali lagi, Agum benar. Dia sama sekali tidak salah. Justru sungguh tidak bisa dibenarkan kalau kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM serta tarif listrik dan tarif telepon ini tak berpijak pada alasan-alasan yang bisa diterima akal sehat. Bagaimanapun jelas keterlaluan -- bahkan mungkin tergolong zalim -- kalau saja keputusan pemerintah menaikkan tiga komponen kebutuhan masyarakat ini tak memiliki alasan-alasan rasional.

Di tengah kondisi keuangan negara yang morat-marit sekarang ini, keputusan pemerintah mengurangi subsidi dalam jumlah besar (Rp 23,2 triliun) -- hingga harga BBM dan tarif listrik dinaikkan -- memang bisa dipahami. Begitu juga keputusan menaikkan tarif telepon -- agar pembangunan jaringan telekomunikasi bisa dilakukan -- tak sulit dimengerti.

Dengan kata lain, alasan-alasan pemerintah menaikkan harga BBM serta tarif listrik dan tarif telepon ini sulit dibantah. Semua masuk akal. Logis.

Lalu kenapa berbagai elemen masyarakat begitu keras menentang keputusan pemerintah menaikkan harga BBM serta tarif listrik dan tarif telepon ini? Adakah aksi-aksi penentangan itu mengada-ada? Benarkah itu ditunggangi kepentingan politik pihak-pihak tertentu? Ataukah itu lebih karena pemerintah gagal melakukan fungsi public relations mengenai kebijakan menaikkan harga tiga elemen kebutuhan masyarakat tadi?

Mungkin benar, seperti sudah ditunjukkan dalam sejumlah kasus, pemerintah tak mampu melakukan fungsi public relations. Kita juga tak menampik kemungkinan bahwa pihak-pihak tertentu memanfaatkan isu kenaikan harga BBM beserta tarif listrik dan tarif telepon ini untuk kepentingan politik mereka.

Tapi apakah benar aksi-aksi menentang kenaikan harga tiga komponen kebutuhan masyarakat ini mengada-ada? Tidak! Jujur saja, aksi-aksi penentangan itu bagaimanapun memiliki pijakan kuat: karena kenaikan harga BBM dan listrik, terutama, sangat memukul kepentingan rakyat. Lebih-lebih wong cilik. Berbagai pemberitaan menyebutkan, kalangan nelayan tak mampu lagi melaut karena harga solar tak terjangkau lagi. Di sisi lain, kalangan sopir angkutan di sejumlah kota juga mengeluh bahwa pendapatan mereka yang selama ini sudah amat pas-pasan jadi menciut drastis.

Kalangan pengusaha juga tak luput gusar: kenaikan harga BBM dan tarif listrik serta-merta membuat ongkos produksi membengkak minimal 30 persen. Itu, pada gilirannya, secara signifikan memelorotkan daya saing produk yang mereka hasilkan. Karena itu tak heran jika pihak Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) atau Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), misalnya, menyebutkan bahwa kenaikan harga BBM dan tarif listrik ini pasti mematikan industri-industri bersangkutan.

Karena itu, amat beralasan jika pengusaha dan kaum pekerja pun kali ini berdiri di posisi sama: menentang kenaikan harga BBM serta tarif listrik dan tarif telepon. Bahkan mereka bahu-membahu menggelar aksi demo.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa alasan kuat dan masuk akal saja tak cukup menjadi jaminan bahwa suatu keputusan otomatis bagus dan beres. Dalam konteks ini, memang, suatu kebijakan belum tentu bijak.

Itu pula yang terjadi dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM serta tarif listrik dan tarif telepon. Kebijakan tersebut, terus-terang, mengabaikan kearifan. Betapa tidak, karena nasib rakyat -- terutama wong cilik -- nyaris dinafikkan. Pemerintah seolah tutup mata atau bahkan barangkali tak peduli terhadap penderitaan rakyat ini. Berbekal alasan-alasan rasional tadi, pemerintah tegas menempatkan kebijakan menaikkan harga BBM beserta tarif listrik dan telepon ini sebagai harga mati. Buktinya, meski aksi demo begitu deras, pemerintah menyatakan tak bakal membatalkan kebijakan itu. Pokoknya, bagi pemerintah, the show must go on.

Itu sungguh terasa sangat tak adil jika dikaitkan dengan sikap pemerintah terhadap kalangan konglomerat yang nyata-nyata telah menjadi biang krisis ekonomi kita. Sementara subsidi untuk rakyat kecil drastis dikurangi, subsidi untuk kalangan konglomerat ini -- berupa bunga obligasi rekap perbankan yang bernilai jauh lebih besar -- justru tak diutak-atik. Bahkan sejumlah konglomerat segera diberi release and discharge alias pengampunan atas tindakan hukum segala.

Jelas, itu tak harus terjadi kalau saja pemerintah mendengarkan nurani.***

Jakarta, 10 Januari 2003

Tidak ada komentar: