24 Januari 2003

Kemalasan Pemerintah

Hasil sidang Consultative Group on Indonesia (CGI) di Nusa Dua, Bali, kian gamblang menunjukkan sikap malas pemerintah. Forum itu seharusnya menjadi momentum untuk meminta pengurangan utang kepada para kreditur -- entah berupa pemotongan pokok utang (hair cut) ataupun pengalihan utang menjadi program-program tertentu (debt swap).

Tapi apa yang terjadi, sidang CGI di Bali ini pun justru tetap menjadi wahana yang membuat utang kita kian menggunung. Di forum tersebut, sesuai permintaan pemerintah, para donor memberikan komitmen baru pinjaman senilai 2,7 miliar dolar AS atau sekitar Rp 28 triliun.

Dana sebanyak itu dibutuhkan pemerintah untuk menambal defisit anggaran. Padahal, seperti jauh-jauh hari sudah diingatkan kalangan pengamat, alternatif sumber-sumber pembiayaan masih bisa dicari pemerintah. Misalnya dana non-budgeter bisa dicairkan menjadi dana budgeter. Sumber ini saja, konon, sungguh signifikan dan jauh di atas nilai pinjaman yang dimintakan pemerintah kepada para donor dalam forum sidang CGI di Bali ini. Dana non-budgeter yang bisa dicairkan menjadi dana budgeter ini bernilai sekitar Rp 107 triliun.

Sumber lain yang masih menjanjikan adalah pajak dan cukai. Kita tahu, kedua sektor ini masih belum benar-benar optimal tergali -- di samping tak sedikit pula mengalami kebocoran akibat inefisiensi, mismanajemen, ataupun digerogoti korupsi. Justru itu, kalau saja pemerintah memiliki tekad dan keseriusan membenahi kedua sumber penerimaan ini, masalah defisit anggaran bisa dihindari. Dengan kata lain, kita niscaya tak perlu menambah tumpukan utang.

Tetapi, itu tadi, pemerintah terkesan malas mencari dan menggali alternatif yang bisa membebaskan kita dari jeratan utang. Pemerintah lebih memilih jalan pintas: meminta utang baru kepada para donor. Padahal, sekali lagi, utang kita sudah demikian menggunung. Utang luar negeri saja sudah bernilai Rp 1.300 triliun lebih -- termasuk utang swasta sekitar Rp 630 triliun. Sementara utang dalam negeri mencapai sekitar Rp 650 triliun berupa obligasi rekap dan surat utang lain.

Karena itu pula, sebenarnya, kita sangat beralasan meminta pengurangan utang kepada para donor. Terlebih, dengan tumpukan utang yang sudah demikian menggunung, posisi debt service ratio (DSR) kita sudah di atas 50 persen. Artinya, sebagian besar hasil ekspor kita habis untuk membayar utang. Padahal belakangan ini kinerja ekspor kita justru cenderung turun.

Forum sidang CGI di Bali, semula sangat diharapkan bisa dimanfaatkan pemerintah sebagai momentum untuk meminta pengurangan utang kepada para donor. Namun dalam soal ini pun pemerintah lagi-lagi terkesan malas. Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, misalnya, berkilah bahwa upaya ke arah itu sungguh tidak mudah. Bagi negara-negara donor, katanya, hair cut adalah isu sensitif: mereka harus memberi pertanggungjawaban langsung kepada kalangan pembayar pajak.

Begitu juga untuk meminta debt swap dalam hitungan signifikan, menurut Dorodjatun, pemerintah terkendala oleh kenyataan di negara-negara donor. Dalam konteks ini, ujarnya, kalangan anggota parlemen ataupun pembayar pajak belum rela bila negara mereka memberikan debt swap kepada negara lain.

Kita tidak memungkiri kesulitan-kesulitan seperti itu. Bahwa meminta hair cut ataupun debt swap memang tak semudah menumpahkan air di cangkir. Untuk memperoleh fasilitas tersebut, kita dituntut bersikap gigih dan pantang menyerah. Pokoknya, kita harus bisa meyakinkan para donor bahwa kondisi beban utang kita sekarang sungguh gawat hingga kita layak memperoleh hair cut dan debt swap.

Sikap seperti itu yang tak terlihat ditunjukkan pemerintah dalam forum sidang CGI di Bali kemarin. Pemerintah sangat terkesan tak mau berpayah-payah melobi para donor. Dalam forum itu, pemerintah sama sekali tak terdengar menyinggung soal hair cut. Bahkan pembahasan agenda soal debt swap pun hanya terdengar sayup-sayup. Singkat kata, pemerintah tak memperlihatkan militansi untuk memperoleh pengurangan utang ini.

Tak bisa lain, itu memang merupakan cermin kemalasan pemerintah saja. Mungkin karena pemerintah sok gengsi dan lebih ingin mempertahankan citra kita di mata para donor: bahwa kita adalah a good boy dalam soal pembayaran utang. Padahal kita yakin bahwa predikat itu sendiri cuma akal-akalan para donor agar kita terus patuh dan rajin mencicil utang -- meski untuk itu kita harus gali lobang tutup lobang.

Tapi, sebenarnya, kalangan negara donor sendiri memiliki program penyelamatan negara-negara miskin yang terjebak utang seperti kita sekarang. Program tersebut adalah highly indebted poor countries (HIPC) yang memiliki fasilitas hair cut sampai 60 persen. Jadi, memang, kita sendiri yang telanjur malas untuk meminta pengurangan utang.***

Jakarta, 24 Januari 2003

Tidak ada komentar: