17 Januari 2003

Tantangan Perum Bulog

Bulog segera berubah status. Jika selama ini menyandang status lembaga pemerintah nondepartemen, tak lama lagi Bulog menjelma menjadi Perusahaan Umum (Perum). Rapat terbatas Kabinet Gotong Royong sudah menyetujui perubahan status Bulog ini. Forum tersebut juga menggariskan bahwa sosok baru Bulog mulai berlaku setelah pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) tentang perubahan status itu. Konon, PP tersebut tuntas disusun dan diluncurkan pada Mei mendatang.

Dengan status baru itu, Perum Bulog kelak bisa berbisnis murni sebagai perusahaan milik negara. Artinya, mereka boleh berorientasi komersial alias mencari keuntungan.

Namun demikian, bidang bisnis Perum Bulog ini tetap terbatas pada sektor pangan pokok. Cuma, mereka juga tetap menjalankan tiga peran pokok yang ditugaskan pemerintah: stabilisasi harga beras di dalam negeri sesuai patokan harga dasar, menyalurkan beras untuk masyarakat miskin, dan menjaga stok beras nasional agar tetap aman bagi kebutuhan pangan dalam negeri.

Tugas itu tetap dibebankan kepada Bulog karena pemerintah memandang beras sebagai komoditas strategis yang harus dikelola khusus. Dengan kata lain, pemerintah tak yakin bahwa masalah beras akan tertangani jika tak dibebankan kepada Perum Bulog sebagai tugas khusus. Padahal beras bisa melahirkan instabilitas sosial-politik. Pengalaman sudah gamblang menunjukkan, kejatuhan pemerintahan Orla maupun Orba sedikit banyak dilatari oleh masalah bahan pokok beras ini yang tak lagi terkelola baik.

Orientasi komersial sendiri akan direngkuh Perum Bulog melalui bisnis tiga komoditas vital dan strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ketiga komiditas itu adalah kedelai, jagung, dan gula pasir.

Kita tidak tahu kenapa aktivitas komersial Perum Bulog ini dibatasi hanya di bidang pangan pokok, khususnya kedelai, jagung, dan gula pasir. Kenapa minyak goreng, misalnya, tidak turut menjadi komoditas bisnis yang memungkinkan Perum Bulog meraup untung? Toh minyak goreng juga termasuk komoditas strategis karena merupakan kebutuhan pokok masyarakat. Lagi pula, bukankah dulu -- sebelum era reformasi -- minyak goreng ini termasuk komoditas yang ditangani Bulog justru karena kesadaran bahwa itu merupakan pangan pokok?

Mungkinkah itu karena Perum Bulog tak ingin mengusik kemapanan bisnis raja-raja minyak goreng di dalam negeri? Wallaualam. Yang pasti, memang, Perum Bulog memiliki daya penetrasi pasar yang luar biasa berkat kelengkapan infrastruktur berupa gudang-gudang yang mereka miliki.

Menurut catatan, Perum Bulog memiliki 1.604 unit gudang dengan total kapasitas sekitar 3,5 juta ton setara beras. Keseluruhan gudang ini menghampar seluas 1,4 juta m2 dan tersebar di berbagai provinsi. Itu relatif tak sebanding dengan fasilitas gudang milik PT Bhanda Ghara Reksa -- BUMN di lingkungan Depperindag yang bergerak di bidang perdagangan --, misalnya, yang berjumlah 417 unit dengan kapasitas sekitar 1,2 juta ton.

Justru itu, siapa pun dan bergerak dalam bisnis komoditas apa pun -- jelas dibuat ketar-ketir oleh sosok Perum Bulog ini. Terlebih jika kerjasama dengan gerakan koperasi terus terjalin seperti selama ini dalam rangka pengadaan beras, penetrasi pasar Perum Bulog ini praktis sampai daerah-daerah pedesaan di pelosok sekalipun. Itu sungguh sulit bisa ditandingi pelaku usaha mana pun yang bergerak dalam usaha perdagangan atau jasa logistik. Paling tidak, mereka harus mengeluarkan investasi besar-besaran untuk membangun kelengkapan infrastruktur sebelum bisa tampil menjadi pesaing Perum Bulog ini.

Posisi strategis itu pula, sebenarnya, yang sempat menerbitkan harapan bahwa Perum Bulog ini bisa menjadi mesin penggerak ekspor aneka produk pertanian. Dengan itu, bukan saja nasib kalangan petani terangkat, kinerja ekspor nonmigas pun bisa jadi lebih baik.

Selama ini, memang, upaya ke arah itu sedikit sekali terlihat. Langkah-langkah yang sudah terayun dalam konteks ekspor aneka produk pertanian ini sangat terbatas karena terbingkai dalam wadah-wadah tertentu yang kerap tidak fokus sebagai ujungtombak bisnis. Kalangan produsen teh, misalnya, sudah lama mengeluhkan peran wadah pemasaran bersama yang boleh dikatakan gagal mendongkrak kinerja ekspor komoditas bersangkutan. Wadah itu bukan saja sangat birokratis, melainkan juga melupakan fungsi yang justru seharusnya menjadi fokus mereka. Wadah itu lebih berfokus pada kegiatan penjualan, sementara fungsi pemasaran terabaikan.

Namun Perum Bulog rupanya tak hirau oleh kenyataan seperti itu. Sejak pagi mereka justru sudah memosisikan diri bergerak di bidang impor ketimbang berinisiatif mendongkrak ekspor komoditas pertanian kita. Pilihan bisnis komersial yang jatuh pada komoditas jagung, kedelai, dan gula pasir bagaimanapun adalah bukti tentang itu.***

Jakarta, 17 Januari 2003

Tidak ada komentar: