03 Januari 2003

Buramnya Ekonomi Kita

Buram. Sangat buram! Sulit mengatakan bahwa ekonomi nasional pada 2003 ini tidak buram. Betapa tidak, karena memang nyaris tak ada tanda-tanda yang membuat kita layak berharap bahwa kehidupan ekonomi ini menjanjikan kenyataan melegakan: cerah-bergelora. Bahkan bermimpi atau berkhayal sekalipun -- bahwa kehidupan ekonomi kita tahun ini relatif baik -- kita sungguh kesulitan. Kita tak punya pijakan untuk itu.

Berbagai tanda atau kecenderungan yang tergelar memang benar-benar gamblang menunjukkan bahwa ekonomi nasional amat buram. Jumlah pengangguran, misalnya, semakin membengkak. Lapangan kerja baru juga nyaris musykil tercipta -- karena kegiatan investasi cenderung mandek. Pemilik modal, seperti sudah terlihat belakangan ini, cenderung enggan masuk ke negeri kita ini. Bahkan mereka yang selama ini sudah menggelar kegiatan investasi di sini pun mulai terlihat tak nyaman. Mereka menunjukkan kesan tak genah lagi menggerakkan roda bisnis di negeri kita. Mereka sangat mungkin kian serius berpikir untuk memindahkan investasi ke negeri lain. Justru itu, tindak pemutusan hubungan kerja pun tampaknya bakal kian merebak di mana-mana.

Memang, pemerintah sendiri mencanangkan tahun ini sebagai tahun revitalisasi investasi. Tapi kita harus jujur mengakui bahwa itu baru sebatas slogan. Baru sekadar niat atau keinginan. Bahkan, barangkali, itu cuma basa-basi politik: sekadar untuk memberikan sedikit kesegaran semu di tengah kegelisahan kita melihat perkembangan negatif kegiatan investasi di dalam negeri ini.

Apa boleh buat, memang, karena konsep strategi revitalisasi investasi ini sama sekali belum terlihat. Boleh jadi, pemerintah malah memang tak menyiapkan soal itu. Kita menangkap kesan, pemerintah belum mencapai satu kata mengenai langkah-langkah terobosan dalam rangka meneguhkan kembali iklim investasi yang kondusif ini. Antarinstansi terkait agaknya masih terlena dalam ego masing-masing -- akibat mereka kurang memiliki sense of crisis dan sense of urgency.

Di sisi lain, kinerja ekspor kita juga sulit diharapkan menjadi penyelamat keadaan. Jujur saja, ekspor kita tahun ini sangat musykil bisa melonjak signifikan. Lagi-lagi karena kita tak melihat pemerintah menyiapkan langkah terobosan, di samping dunia usaha kita sendiri -- seperti kritikan Presiden Megawati -- cenderung terpaku terhadap pasar yang selama ini mereka garap. Padahal ekonomi AS -- notabene negeri tersebut termasuk salah satu pasar tradisional produk-produk ekspor kita -- belum menunjukkan gelagat segera bangkit lagi. Ekonomi Jepang juga kurang lebih sama.

Walhasil, paling-paling kinerja ekspor nasional ini jalan di tempat: mundur tidak, melesat pun tidak. Itu, sekali lagi, sungguh tak menjadi penyelamat keadaan. Ekspor sulit diharap mampu menghela pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara sektor konsumsi tahun ini mustahil bisa seperti tahun lalu: menjadi motor pertumbuhan, meski tak terlampau signifikan.

Sektor konsumsi di dalam negeri tahun ini memang pasti babak-belur. Apa mau dikata, daya beli masyarakat jelas melorot drastis akibat kenaikan harga berbagai barang dan jasa, menyusul kebijakan pemerintah mendongkrak harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik dalam hitungan signifikan. Belum lagi hampir pasti tarif telepon, tol, serta angkutan segera menyusul naik pula.

Hanya keajaiban, barangkali, yang bisa mengubah kecenderungan ekonomi kita pada tahun ini menjadi baik dan menyejahterakan. Dengan kata lain, harapan bahwa kehidupan sosial-ekonomi kita pada tahun ini membaik dibanding tahun lalu praktis pupus. Apa yang terjadi, kehidupan kita justru semakin berat. Amat berat!

Pemerintah sendiri tampaknya tak peduli. Berbagai pembenaran meyakinkan bisa mereka paparkan tentang beban berat kehidupan sosial-ekonomi nasional yang harus dipikul rakyat ini. Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, misalnya, melukiskan bahwa beban berat itu merupakan harga yang harus rela dipikul rakyat dalam rangka memberikan ruang gerak lebih baik terhadap APBN. Bahkan Taufik Kiemas, suami Megawati, menyebutkan bahwa subsidi untuk rakyat merupakan candu -- dan karena itu amat sah serta wajib dihapuskan.

Kita tak tahu apakah sikap atau asumsi seperti itu sudah merasuki segenap unsur eksekutif maupun legislatif di negeri ini sekarang. Yang pasti, kebijakan-kebijakan pemerintah -- atas restu legislatif -- makin menorehkan kegetiran bagi rakyat. Yang pasti pula, sekarang ini pun -- di era reformasi -- rakyat tetap saja sekadar menjadi obyek. Kebijakan-kebijakan yang bersipat partisipatif masih saja di awang-awang.

Mungkin mereka lupa bahwa negara ini berdiri antara lain dalam rangka mengupayakan kesejahteraan bagi rakyat?***

Jakarta, 3 Januari 2003

Tidak ada komentar: