28 Desember 2002

Undang-Undang BUMN


Kontroversi soal divestasi Indosat kian menegaskan betapa UU BUMN sudah sangat urgen dibuat. UU BUMN sudah merupakan kebutuhan mendesak. Dengan undang-undang tersebut, perseteruan sengit antara Ketua MPR Amien Rais dan Menneg BUMN Laksamana Sukardi berkaitan dengan divestasi Indosat mungkin tak harus terjadi. Begitu juga kalangan karyawan Indosat sendiri. Mereka barangkali tak harus merasa perlu menggelar aksi mogok sebagai wujud penolakan mereka terhadap langkah pemerintah menjual Indosat ini.

Dengan adanya UU BUMN, kita bisa berharap bahwa BUMN bukan lagi sapi perahan pihak-pihak yang memiliki akses terhadap kekuasaan. Kita juga bisa berharap bahwa pengelolaan BUMN benar-benar profesional, transparan, dan mengindahkan asas akuntabilitas terhadap publik sesuai tuntutan prinsip good corporate governance.

Dengan adanya UU BUMN pula, divestasi BUMN tak bisa dilakukan serampangan. Aset strategis dan sehat seperti Indosat atau Telkom, umpamanya, jelas tak bakalan lolos dilego pemerintah. Selebihnya, langkah divestasi BUMN ini juga sangat mungkin bisa menepis tudingan tidak transparan sebagaimana dilontarkan pihak Serikat Pekerja Indosat terhadap proses dan keputusan pemerintah melego Indosat kepada Singapore Technologies Telemedia (STT).

Kita bisa memahami mengapa Amien Rais sampai melontarkan pernyataan bahwa langkah Menneg Laksamana Sukardi mendivestasi BUMN ini -- termasuk Indosat -- merugikan bangsa dan negara. Bukan saja BUMN terkesan diobral, melainkan juga karena divestasi seolah menyerahkan aset strategis kepada pihak asing. Indosat, misalnya, bagaimanapun merupakan BUMN yang amat strategis karena bergerak di bidang telekomunikasi.

Konstitusi sendiri sudah menggariskan bahwa aset-aset yang menguasai hajat hidup khalayak luas harus dikuasai negara. Justru itu, penjualan aset strategis seperti Indosat -- terlebih kepada pihak asing -- serta-merta terasa menggelitik. Bisa dipahami jika kalangan tertentu menilai langkah divestasi aset strategis ini sebagai tindakan yang nyata-nyata melanggar konstitusi.

Tetapi, di lain pihak, kita juga mengetahui bahwa privatisasi aset negara sudah menjadi keputusan pemerintah. Bahkan menjadi komitmen kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebagaimana tertuang dalam letter of intent (LoI). Keputusan tersebut menyatakan bahwa privatisasi aset negata merupakan strategi untuk menambal defisit APBN yang telanjur menganga lebar. Jadi, bagi Menneg BUMN, privatisasi aset dan divestasi BUMN memang merupakan langkah yang harus ditempuh.

Bahwa langkah yang ditempuh Menneg BUMN ternyata merujuk pada aset-aset strategis, sehat, dan menguntungkan seperti Indosat, kita juga dipaksa memahami persoalan. Yaitu karena aset-aset seperti itu sangat mungkin bisa dijual. Logika ekonomi menyebutkan, bagaimana mungkin investor tertarik memberi aset yang ditawarkan pemerintah jika aset tersebut tidak sehat, disaput mismanagement, dan tidak strategis secara ekonomis maupun politis?

Walhasil, sekali lagi, bagi Menneg BUMN pilihan yang paling mungkin ditempuh dalam rangka privatisasi aset negara guna menghasilkan dana besar untuk menutup defisit APBN ini memang merujuk pada aset-aset yang sehat, likuid, dan strategis. Tapi justru itu pula, dia harus siap menghadapi berbagai serangan atau gugatan pihak-pihak yang tidak setuju.

Karena itu, selama belum ada UU BUMN, kontroversi akan senantiasa mewarnai setiap privatisasi aset negara. Terlebih jika proses yang berlangsung terkesan tidak transparan, sehingga sangat mudah mengundang curiga atau bahkan apriori pihak-pihak tertentu.

Kita tidak tahu, kenapa gagasan tentang pembuatan BUMN sendiri belakangan terkesan melempem. Padahal, beberapa waktu lalu, keinginan ke arah itu sempat terlihat kental menggumpal. Itu tak hanya ditunjukkan pihak eksekutif. Pihak legislatif pun tak terkecuali.

Jadi kenapa kini melempem?

Kita khawatir bahwa itu karena pihak eksekutif maupun legislatif belakangan tiba-tiba dihadapkan pada kesadaran betapa sekarang ini bukan saat yang tepat untuk membuat UU BUMN. Jangan-jangan benar bahwa aroma politik membuat eksekutif dan legislatif seperti mendadak terjaga dari mimpi: bahwa Pemilu 2004 merupakan agenda yang jauh lebih penting dan lebih urgen. Justru itu, bagi mereka, sungguh tidak bijak jika UU BUMN cepat-cepat dirumuskan.

Dengan kata lain, sampai perhelatan akbar Pemilu 2004 berlalu, boleh jadi BUMN dipandang lebih beralasan tidak berada di bawah payung undang-undang khusus. Dengan demikian, demi kepentingan bersama menyukseskan perhelatan akbar itu, BUMN tetap bisa mudah diobok-obok dan dijadikan sapi perah!***

Jakarta, 28 Desember 2002

Tidak ada komentar: