26 Desember 2002

Sikap Manja Pengusaha


Penilaian Presiden Megawati, bahwa kalangan pengusaha nasional bermental manja, sungguh tidak berlebihan. Paling tidak, memang, kita sulit menemukan militansi bisnis di kalangan pengusaha nasional ini. Berbeda dengan kalangan pengusaha Jepang atau Korsel, misalnya, dunia usaha kita lebih banyak diisi oleh pelaku-pelaku yang acap menunjukkan sikap-tindak cepat puas diri, kurang inovatif, juga kurang reponsif terhadap tantangan krusial sekalipun. Selebihnya, mereka gampang mengeluh, menghindari tantangan, serta senantiasa menuntut pengayoman pemerintah.

Sedikit anomali memang terlihat. Sejumlah pengusaha menunjukkan kenyataan yang seolah menafikan sikap-tindak tadi. Kegiatan bisnis mereka melesat seperti meteor dan menggurita. Tapi jangan salah, itu tak lain berkat kedekatan mereka dengan pusat kekuasaan. Justru itu, seperti sudah terbukti, kerajaan-kerajaan bisnis milik mereka yang tergolong konglomerat ini keropos bak istana pasir.

Walhasil, pengusaha kecil ataupun pengusaha kakap kita sama saja: tidak militan dan manja. Karena itu, seperti dikeluhkan Presiden Megawati, kegiatan ekspor kita tak kunjung memperlihatkan lompatan signifikan. Betapa tidak begitu, karena langkah-langkah terobosan memang tak kunjung dilakukan oleh pengusaha kita. Mereka telanjur puas mengisi pasar yang selama ini mereka geluti. Mereka hampir tak tergerak melakukan diversifikasi pasar.

Karena itu tak heran jika kegiatan ekspor kita jadi rapuh. Kita selalu tidak siap dan tak mampu menghadapi perubahan mendadak di pasar ekspor. Kinerja ekspor kayu lapis, misalnya, serta-merta sempoyongan ketika ekonomi Jepang mengalami krisis. Padahal itu tak harus terjadi kalau saja pasar ekspor produk kayu lapis kita tak banyak bergantung pada Jepang.

Di dalam negeri sendiri, daya tahan pengusaha kita sangat rapuh. Buktinya, ekspansi pengusaha asing ke tengah masyarakat kita begitu gilang-gemilang. Mereka sukses menjulangkan bisnis. Kalangan pengusaha kita sendiri, dalam kaitan ini, nyaris tak mampu memberikan "perlawanan".

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, pengusaha kita lantas menjerit. Kalau tak menyalahkan pemerintah, mereka menuntut perlindungan atau meminta insentif-insentif agar tak tersisih dari gelanggang persaingan. Kita masih ingat, beberapa waktu lalu bahkan Kadin Indonesia meminta agar era perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara (AFTA) diundur. Mereka terus-terang mengaku tidak siap. Deraan krisis ekonomi yang menerpa sejak medio 1997 silam mereka ajukan sebagai alasan pembenaran. Lalu mereka juga menilai persetujuan pemerintah terhadap perjanjian AFTA sebagai tindakan tergesa-gesa.

Sikap kolokan seperti itu memang salah. Tapi itu juga bukan sepenuhnya kesalahan pengusaha kita. Betapa tidak, karena di masa lalu pemerintah sendiri ikut andil menumbuhsuburkan sikap manja ini. Sejak di zaman Orde Lama, pemerintah cenderung mengondisikan kalangan pengusaha nasional terproteksi. Mereka sedikit sekali didorong masuk ke gelanggang persaingan yang sesungguhnya. Melalui berbagai kebijakan, pemerintah sangat memanjakan mereka.

Di era Orde Baru, kenyataan serupa juga tergelar. Bahkan dalam kerangka pemerataan kue pembangunan, pemerintah Orde Baru banyak melahirkan pengusaha karbitan. Dalam konteks ini, orang terjun ke dunia usaha bukan karena melihat peluang menjanjikan, melainkan lebih karena tertarik menikmati insentif-insentif yang diberikan pemerintah.

Di lain pihak, dalam perjalanan belakangan, kebijakan-kebijakan pemerintah juga tak menjadi lahan subur bagi lahirnya pengusaha-pengusaha tangguh. Dalam semangat nepotisme, kondisi yang digelarkan pemerintah kala itu jelas tak memberi ruang bagi entrepreneurship sejati. Apa yang direntangkan pemerintah justru kondisi-kondisi bisnis serba palsu dan semu. Justru itu, pengusaha tak terbiasa menghadapi tantangan di lapangan. Bisnis mereka berkibar lebih karena insentif, proteksi, ataupun suapan pemerintah berupa proyek-proyek pembangunan.

Kini sikap manja pengusaha nasional ini digugat. Kita percaya, gugatan tersebut bukan semata menjadi milik Presiden Megawati. Secara keseluruhan, pemerintahan sekarang ini pasti menggugat pula: bahwa pengusaha nasional sudah saatnya membuang sikap manja dan segera membangun jiwa entrepreneurship sejati.

Tapi kita juga berharap bahwa gugatan pemerintah ini bukan lebih karena ketidaksanggupan mereka meneruskan "tradisi" memanjakan pengusaha. Mudah-mudahan gugatan itu lahir murni karena keprihatinan dan kesadaran bahwa pengusaha yang tangguh, trengginas, dan inovatif adalah kebutuhan mutlak guna membangun kebangkitan dan kejayaan ekonomi nasional. Semoga!***

Jakarta, 26 Desember 2002

Tidak ada komentar: