07 Februari 2003

Strategi Baru BPPN

Terlepas dari dugaan bahwa pemerintah berupaya memberi kesan bisa juga bersikap tegas dan lugas, tindakan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) melaporkan lima kelompok obligor tak kooperatif ke kepolisian patut kita puji. Betapa tidak, karena langkah tersebut merupakan terobosan strategis yang lumayan menjanjikan bagi penyelamatan kekayaan negara. Dengan menetapkan obligor dalam satu paket -- tak lagi hanya terdiri atas pemegang saham, melainkan meliputi pula komisaris dan direksi bank --, muncul harapan bahwa upaya menarik kembali dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ini tak lantas kandas manakala pengadilan menjatuhkan vonis yang memenangkan pihak obligor selaku tergugat.

Sejumlah kasus memang sudah gamblang menunjukkan kenyataan seperti itu. Mungkin karena pengacara jeli melihat
celah hukum, sejumlah obligor malah divonis ringan atau bahkan bebas sama sekali. Kasus terakhir yang masih hangat adalah vonis bebas yang dijatuhkan pengadilan terhadap Samadikun Hartono dan Kaharudin Ongko.

Kenyataan itu bukan saja menggugah rasa keadilan di kalangan rakyat kebanyakan, melainkan juga mementalkan upaya pemerintah menyelamatkan kekayaan negara. Malah dalam kasus seperti vonis pengadilan terhadap Samadikun dan Ongko, pemerintah dibuat rugi dalam dua sisi. Pertama, pemerintah harus mengeluarkan biaya tidak kecil untuk membayar jasa pengacara yang mewakili mereka di pengadilan. Kedua, pemerintah dibuat gagal memaksa obligor bersangkutan segera melunasi kewajiban mereka mengembalikan dana BLBI kepada negara.

Pemerintah, khususnya BPPN, tampaknya banyak belajar dari rangkaian kegagalan menekuk obligor bermasalah di pengadilan ini. Mereka sudah sampai pada kesadaran bahwa perangkat hukum yang tersedia untuk menjerat obligor tak kooperatif dan bandel ini memiliki celah tak menguntungkan. Celah tersebut memungkinkan obligor bisa lolos dari keharusan mengembalikan dana BLBI yang mengucur ke bank milik mereka dulu.

Celah itu sendiri terkuak dalam Undang-undang Perseroan Terbatas yang selama ini menjadi pijakan pemerintah dalam berupaya menjerat obligor tak kooperatif di pengadilan ini. Undang-undang tersebut menggariskan bahwa tanggung jawab pengelolaan suatu badan hukum usaha -- termasuk bank -- terletak di pundak komisaris dan direksi. Jadi, pemegang saham tak turut menjadi pihak yang harus memberikan pertanggungjawaban atas pengelolaan badan usaha ini.

Terang saja, berdasarkan ketentuan itu, pemegang saham bank-bank penerima dana BLBI -- notabene kini menjadi obligor BPPN -- bisa mudah berkelit. Padahal, bagi pemerintah, sasaran bidik justru pemegang saham -- karena mereka memiliki aset-aset yang bisa dimanfaatkan untuk melunasi kewajiban mengembalikan BLBI. Lagi pula, memang, penyimpangan BLBI sendiri terindikasi kuat dilakukan justru oleh pemilik bank -- bukan oleh komisaris ataupun direksi.

Karena itu, dengan menetapkan status obligor dalam satu paket -- terdiri atas komisaris, direksi, dan pemegang saham -- pemerintah bisa menutup celah yang memungkinkan obligor tak kooperatif ini bisa berkelit. Dengan itu pula, upaya pemerintah menyelamatkan kekayaan negara berupa dana BLBI ini menerbitkan harapan optimistik.

Namun strategi itu belum tentu serta-merta lempang dan mulus. Paling tidak, strategi itu menuntut prasyarat tertentu. Dalam konteks ini, keberhasilan upaya penyelamatan kekayaan negara ini kembali berpulang kepada good will atau bahkan political will pihak-pihak yang terlibat -- entah pemerintah sendiri, kepolisian, kejaksaan, atau juga kehakiman. Selama salah satu atau para pihak tak menunjukkan good will dan political will -- bahwa dana BLBI adalah kekayaan rakyat yang harus dikembalikan ke pangkuan negara -- strategi baru BPPN ini pasti tumpul pula. Upaya menarik kembali dana BLBI dari tangan obligor tak kooperarif ini pasti lagi-lagi kandas.

Kalau itu yang terjadi, entah apa lagi yang harus kita katakan. Yang pasti, masalah dana BLBI akan kian jadi isu sensitif dan menggugah keprihatinan di kalangan rakyat kebanyakan.

Karena itu pula, sejak awal, langkah-langkah pemerintah menyelamatkan kekayaan negara berupa dana BLBI ini selalu mengundang sorotan tajam dan memancing kontroversi seru berkepanjangan. Ketika rapat kabinet memutuskan memberikan pengampunan hukum (release and discharge) kepada empat obligor yang dinilai kooperatif, misalnya, publik serta-merta menilai pemerintah bersikap lembek dan lebih prokonglomerat. Terlebih ketika belakangan pemerintah menaikkan harga BBM, tarif dasar listrik, dan tarif telepon secara bersamaan, posisi pemerintah pun benar-benar dinilai tak hirau terhadap nasib rakyat yang selama ini sudah dalam kondisi megap-megap dililit krisis.

Jadi, haruskah masalah dana BLBI ini tetap lebih banyak sekadar menjadi isu sensitif?***


Jakarta, 7 Februari 2003

Tidak ada komentar: