14 Februari 2003

Rencana Privatisasi BUMN

Langkah pemerintah menambal defisit APBN melalui privatisasi lanjutan BUMN kemungkinan sulit bisa mulus. Bahkan bisa-bisa terganjal. Betapa tidak, karena kalangan anggota Komisi IX DPR menyatakan akan menolak seluruh proses privatisasi BUMN ini sepanjang tak berpijak pada landasan hukum berupa UU BUMN dan UU Privatisasi.

Sikap kalangan Komisi IX DPR ini berangkat dari penilaian bahwa sejauh ini langkah privatisasi BUMN melenceng atau bahkan ngawur karena tak lagi memiliki kriteria tertentu.

Di banyak negara, memang, privatisasi BUMN dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi pengelolaan. Justru itu, BUMN yang diprivatisasi adalah unit-unit usaha yang hanya membebani keuangan negara akibat salah urus dan tak efisien.

Tapi di Indonesia, privatisasi justru merujuk pada BUMN yang sehat, efisien, dan tergolong tambang uang. Bahkan BUMN yang sangat strategis karena menguasai hajat hidup rakyat banyak, semisal PT Telkom atau PT Indosat, tak terkecuali diprivatisasi. Di lain pihak, BUMN yang selama ini terus merugi justru nyaris tak dilirik sebagai sasaran privatisasi.

Dalam konteks itu, pemerintah berdalih bahwa BUMN yang tak sehat dan terus merugi sulit bisa laku. Kalangan investor, menurut pemerintah, tak bakalan tertarik bila BUMN yang ditawarkan adalah unit usaha yang jelas-jelas menunjukkan kinerja tak mengesankan.

Karena itu, tak bisa lain bahwa BUMN yang diprivatisasi ini adalah unit-unit usaha yang sehat, efisien, serta memiliki prospek bagus -- dalam arti terjamin mendatangkan keuntungan. Tapi dengan itu pula, pemerintah seolah mengingkari semangat dasar privatisasi. Penjualan BUMN bukan lagi dalam rangka meningkatkan efisiensi dan transparansi pengelolaan, melainkan lebih bermotifkan ekonomis: menghasilkan dana besar untuk menambal defisit.

Justru itu pula, privatisasi BUMN ini menjadi sangat sensitif dan kental beraroma politis. Terlebih karena tahapan privatisasi yang ditempuh pemerintah ini dinilai banyak pihak tidak transparan. Kasus privatisasi Indosat, misalnya, jelas menunjukkan kenyataan tersebut. Tak heran jika investor yang mengincar saham pemerintah di PT Indofarma pun sampai merasa perlu meminta jaminan pemerintah soal aspek politis ini. Mereka sangat tak berharap kelak harus pusing memikirkan meladeni gugatan orang mengenai pembelian saham pemerintah di Indofarma ini.

Di lain pihak, itu tadi, pihak DPR pun -- khususnya kalangan Komisi IX -- menyatakan akan menolak setiap langkah pemerintah menjual BUMN ini sepanjang tak berpijak pada UU BUMN dan UU Privatisasi.

Pemerintah sendiri sudah menegaskan bahwa privatisasi BUMN ini akan jalan terus. Seolah tak hirau oleh protes atau bahkan tekanan banyak kalangan, pemerintah memastikan bahwa
sekitar 25 BUMN sudah masuk daftar privatisasi. Itu belum termasuk divestasi sejumlah bank.

Kenapa pemerintah terkesan ngoyo dalam konteks privatisasi BUMN ini? Mudah ditebak, itu karena pemerintah telanjur dihadapkan pada masalah krusial dan mendesak: menambal defisit APBN. Pemerintah tak memiliki pilihan lain.

Penjualan aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) memang termasuk alternatif. Tetapi, berpijak pada pengalaman selama ini, proses pelepasan aset di BPPN ini sungguh berliku. Paling tidak, untuk bisa meraih tingkat recovery aset, pemerintah harus benar-benar cermat menghitung berbagai aspek. Jika tidak, penjualan aset di BPPN ini bisa menyerupai obral. Itu bukan saja akan mengundang protes berbagai kalangan, melainkan juga sulit bisa signifikan membantu mengatasi masalah defisit APBN.

Jadi, bagi pemerintah, privatisasi BUMN memang suatu keniscayaan guna mengatasi defisit APBN yang telanjur menganga lebar. Tapi, soalnya, jika DPR ternyata menghentikan setiap pembicaraan, konsultasi, atau apa pun tentang rencana privatisasi BUMN -- sampai kemudian lahir UU BUMN dan UU Privatisasi --, bukankah masalah defisit jadi tak terpecahkan? Jika itu terjadi, bukankah semua jadi kacau dan berimplikasi serius?

Kita setuju terhadap pendirian pihak DPR -- juga pihak-pihak lain -- bahwa tanpa landasan hukum berupa UU BUMN dan UU Privatisasi, pelepasan BUMN sungguh rawan: mengundang distorsi di sana-sini. Namun menyusun dan menggolkan kelahiran kedua undang-undang itu sungguh membutuhkan waktu. Sementara masalah anggaran yang telanjur digayuti defisit yang demikian besar jelas tak bisa ditunda-tunda.

Itu berarti, pemerintah dan pihak DPR perlu berkompromi. Intinya, privatisasi BUMN tetap jalan terus sambil merintis langkah ke arah kelahiran UU BUMN dan UU Privatisasi. Cuma pemerintah harus benar-benar transparan dalam setiap tahapan privatisasi BUMN ini. Jangan lagi terjadi, DPR atau publik merasa ditohok di belakang hari Sejatinya, itu pula yang telah membuat publik dan DPR jadi resisten terhadap rencana privatisasi BUMN ini.***

Jakarta, 14 Februari 2003

Tidak ada komentar: