21 Februari 2003

Sertifikat Bukti Hak



Sertifikat Bukti Hak (SBH) khusus diterbitkan pemerintah untuk pemegang saham lama bank peserta program rekap yang telah menyetor tambahan modal minimal 20 persen total biaya rekap. SBH bukan hanya sertifikat yang menjadi bukti penyerahan aset bank bersangkutan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), melainkan juga surat yang melegitimasi pemegang saham lama dalam membeli saham C yang dimiliki pemerintah di eks bank mereka.

Jadi, penerbitan SBH ini dilakukan pemerintah setelah bank menyerahkan aset berupa kredit bermasalah kepada BPPN. Aset ini kemudian dijual BPPN, dan hasilnya -- setelah dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan BPPN -- digunakan sebagai patokan harga SBH.

Walhasil, dengan menggenggam SBH, pemilik lama bank berhak menikmati dana tunai hasil penjualan aset bank yang dulu mereka serahkan kepada BPPN. Atau, sepanjang tak termasuk daftar orang tercela (DOT) yang dibuat Bank Indonesia, mereka bisa kembali menjadi pemilik bank dengan membeli saham C milik pemerintah di eks bank mereka.

Tapi, belakangan, kalangan obligor penanda tangan perjanjian penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKSP) berskema akta pengakuan utang (APU) seperti tak tertarik oleh manfaat yang melekat dalam SBH ini. Mereka mendadak menyodorkan usulan agar SBH bisa digunakan untuk mengurangi jumlah kewajiban mereka kepada negara berupa mengembalikan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Namun sejak pagi-pagi BPPN sudah menyiratkan bahwa usulan itu tak bisa dipenuhi. Meski kepastian mengenai soal tersebut masih harus menunggu keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), BPPN berpendirian bahwa usulan itu hanya akal-akalan obligor PKPS-APU untuk menciutkan utang tanpa harus capek-capek menyetor dana tunai.

Akal-akalan? Menurut BPPN, pengurangan nilai SBH terhadap jumlah kewajiban memang tak termasuk skema penyelesaian utang obligor PKPS-APU. Lain dengan Eka Tjipta Widjaja. Mantan pemilik Bank Internasional Indonesia (BII) itu bisa mengurangkan nilai SBH terhadap jumlah kewajibannya di Sinar Mas Group karena dia tak terikat skema PKPS-APU.

Sesungguhnya, bagi obligor PKPS-APU, SBH sudah merupakan kartu mati. Bank Indonesia, dalam konteks ini, sudah menggariskan bahwa mereka tidak boleh kembali tampil sebagai pemilik bank. Karena masuk DOT -- terkait dengan penyalahgunaana dana BLBI yang dulu mengucur ke bank mereka --, obligor PKPS-APU ini otomatis dilarang menguasai saham bank. Itu berarti, SBH di tangan para obligor PKPS-APU ini tak bisa ditukarkan dengan saham C milik pemerintah di eks bank mereka.

Kalau begitu, mungkinkan SBH bisa mereka jual kepada pihak ketiga? Tidak juga. Sepanjang merujuk pada ketentuan -- SKB Menkeu dan Gubernur BI No 53/1999 tentang Pelaksanaan Program Rekapitalisasi Bank Umum -- langkah ke arah itu sungguh rumit: harus memperoleh persetujuan pemerintah dan Bank Indonesia. Di sisi lain, calon pembeli SBH pun harus menjalani dan lolos fit and proper test sebagaimana lazim diberlakukan Bank Indonesia terhadap setiap calon pemilik bank.

Lagi pula, sudah menjadi rahasia umum bahwa recovery rate aset-aset eks bank rekap ini amat rendah. Bahkan keputusan KKSK tempo hari yang menetapkan rata-rata recovery rate aset ini sebesar 25 persen dinilai sejumlah kalangan masih kelewat tinggi. Itu berarti, nilai SBH pun pasti amat kecil pula. Padahal, saat ditawarkan pada pihak ketiga, obligor bersangkutan pasti berpatokan pada harga aset saat diserahkan kepada BPPN.

Lebih dari itu, seperti pernah diingatkan Ketua Oversight Committee BPPN Mar'ie Muhammad, SKB Menkeu dan Gubernur Bank Indonesia juga sejatinya tak memberi hak bagi pemegang saham lama bank rekap untuk menikmati hasil penjualan aset yang dilakukan BPPN. Itu tadi, karena hasil penjualan aset oleh BPPN pasti amat rendah dan jauh tak sebanding dengan jumlah kewajiban mereka kepada negara. Justru itu, siapa pun agaknya tak bakal tertarik membeli SBH di tangan obligor PKPS ini.

Bagi kita, usulan obligor PKPS-APU tentang pemanfaatan SBH untuk mengurangi jumlah kewajiban mereka mengembalikan dana BLBI kepada negara ini kian menegaskan kenyataan bahwa mereka memang senantiasa penuh akal licik. Dalam kaitan ini, selalu saja mereka melihat celah yang bisa dimanfaatkan.

Karena itu, kita sangat berharap agar KKSK tak menghiraukan usulan obligor PKPS-APU tentang pemanfaatan SBH untuk mengurangi jumlah kewajiban mereka mengembalikan dana BLBI ini. Jika usulan tentang itu sampai dikabulkan, sama sama KKSK malah menambah daftar kekecewaan rakyat mengenai perlakuan pemerintah terhadap konglomerat bermasalah ini. Terlebih, sekali lagi, SBH bagi obligor PKPS-APU sudah merupakan kartu mati.***


Jakarta, 21 Februari 2003

Tidak ada komentar: