16 November 2013

Sinergi BI-Pemerintah


Untuk kali kelima selama tahun ini, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan alias BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,5 persen. Langkah tersebut mengagetkan, karena jelas berdampak kian menyulitkan sektor riil. Laju pertumbuhan ekonomi nasional pun niscaya makin melambat.

Target pertumbuhan ekonomi tahun ini dipatok pemerintah sebesar 6 persen. Target tersebut hampir pasti tak bakal bisa dicapai. Pada triwulan III/2013 saja, pertumbuhan ekonomi ini sudah ngos-ngosan di level 5,62 persen.

BI sendiri bukan tidak menyadari risiko itu. Namun BI galau oleh beban defisit dalam neraca transaksi berjalan. Pada kuartal III/2013, desifit tersebut mencapai US$ 8,4 miliar atau 3,8 persen produk domestik bruto (PDB). Angka itu memang menunjukkan perbaikan dibanding semester II/2013 sebesar US$ 9,9 miliar (4,4 persen PDB). Tetapi, bagi BI, penurunan tersebut relatif lamban dibanding potensi tekanan terhadap ekonomi nasional.

Dari dalam negeri, tekanan itu antara lain kebutuhan impor yang tetap tinggi, terutama impor migas. Sementara dari lingkungan eksternal, tekanan itu terkait kondisi ekonomi global yang masih saja sarat ketidakpastian.

Kombinasi tekanan internal dan eksternal itu bukan saja bisa membuat defisit dalam neraca transaksi berjalan terus tinggi, melainkan juga mengondisikan neraca pembayaran tetap babak-belur. Pada kuartal III/2013, neraca pembayaran ini mengalami defisit US$ 2,16 miliar. Bahkan pada semester II/2013, defisit tersebut mencapai US$ 2,5 miliar.

Walhasil, dengan perspektif seperti itu, langkah BI menaikkan lagi BI Rate untuk kali kelima pada tahun ini memang bisa dipahami. Namun tantangan yang dihadapi ekonomi nasional ini tak mungkin bisa ditangani sendiri oleh BI. Bahkan, tanpa imbangan kebijakan pemerintah, langkah BI itu boleh jadi malah menjadi blunder.

Itu berarti, pemerintah bagaimanapun harus ikut juga berjibaku dengan menebar kebijakan yang bersifat menunjang atau melengkapi langkah BI. Memang, pemerintah pun sudah mengayun langkah dalam merespons tantangan yang dihadapi ekonomi nasional ini. Misalnya, Agustus lalu mengeluarkan paket kebijakan fiskal yang terutama ditujukan untuk menekan defisit dalam neraca transaksi berjalan.

Tetapi, patut diakui, implementasi kebijakan tersebut masih letoy. Itu pula yang membuat defisit transaksi berjalan maupun defisit neraca pembayaran tetap tinggi, meski belakangan menunjukkan sedikit penurunan. Dalam konteks itu, pemerintah terkesankan kurang sungguh-sungguh melangkah. Itu antara lain gamblang tecermin dalam volume impor bahan bakar minyak (BBM) yang tetap tinggi.

Impor BBM terus saja menggunung, karena konsumsi memang bisa dikatakan tetap tak terkendali. Program-program yang disiapkan untuk itu, di tahap implementasi, nyaris menguap begitu saja. Bahkan, seperti dalam kasus program mobil murah, sikap dan kebijakan pemerintah sungguh tidak produktif -- bahkan kontradiktif -- dengan tuntutan kondisional menyangkut pengendalian konsumsi BBM ini.

Jadi, sikap seperti itu harus ditanggalkan. Terlebih di tengah tren pelambatan ekonomi nasional sekarang ini, pemerintah kudu lebih trengginas bertindak. Kebijakan dan program-program yang sudah disiapkan harus konsisten diimplementasikan.

Di sisi lain, setelah BI menaikkan lagi BI Rate, pemerintah juga harus meluncurkan kebijakan yang berdampak sebagai stimulus sehingga ekonomi nasional -- terutama sektor riil -- tetap mampu menggeliat.***

Jakarta, 16 November 2013