Untuk kali
kelima selama tahun ini, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan alias
BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,5 persen. Langkah tersebut mengagetkan,
karena jelas berdampak kian menyulitkan sektor riil. Laju pertumbuhan ekonomi
nasional pun niscaya makin melambat.
Target
pertumbuhan ekonomi tahun ini dipatok pemerintah sebesar 6 persen. Target
tersebut hampir pasti tak bakal bisa dicapai. Pada triwulan III/2013 saja,
pertumbuhan ekonomi ini sudah ngos-ngosan di level 5,62 persen.
BI sendiri
bukan tidak menyadari risiko itu. Namun BI galau oleh beban defisit dalam
neraca transaksi berjalan. Pada kuartal III/2013, desifit tersebut mencapai US$
8,4 miliar atau 3,8 persen produk domestik bruto (PDB). Angka itu memang
menunjukkan perbaikan dibanding semester II/2013 sebesar US$ 9,9 miliar (4,4
persen PDB). Tetapi, bagi BI, penurunan tersebut relatif lamban dibanding
potensi tekanan terhadap ekonomi nasional.
Dari dalam
negeri, tekanan itu antara lain kebutuhan impor yang tetap tinggi, terutama
impor migas. Sementara dari lingkungan eksternal, tekanan itu terkait kondisi
ekonomi global yang masih saja sarat ketidakpastian.
Kombinasi
tekanan internal dan eksternal itu bukan saja bisa membuat defisit dalam neraca
transaksi berjalan terus tinggi, melainkan juga mengondisikan neraca pembayaran
tetap babak-belur. Pada kuartal III/2013, neraca pembayaran ini mengalami
defisit US$ 2,16 miliar. Bahkan pada semester II/2013, defisit tersebut
mencapai US$ 2,5 miliar.
Walhasil,
dengan perspektif seperti itu, langkah BI menaikkan lagi BI Rate untuk kali
kelima pada tahun ini memang bisa dipahami. Namun tantangan yang dihadapi
ekonomi nasional ini tak mungkin bisa ditangani sendiri oleh BI. Bahkan, tanpa
imbangan kebijakan pemerintah, langkah BI itu boleh jadi malah menjadi blunder.
Itu
berarti, pemerintah bagaimanapun harus ikut juga berjibaku dengan menebar
kebijakan yang bersifat menunjang atau melengkapi langkah BI. Memang,
pemerintah pun sudah mengayun langkah dalam merespons tantangan yang dihadapi
ekonomi nasional ini. Misalnya, Agustus lalu mengeluarkan paket kebijakan
fiskal yang terutama ditujukan untuk menekan defisit dalam neraca transaksi
berjalan.
Tetapi,
patut diakui, implementasi kebijakan tersebut masih letoy. Itu pula yang
membuat defisit transaksi berjalan maupun defisit neraca pembayaran tetap
tinggi, meski belakangan menunjukkan sedikit penurunan. Dalam konteks itu,
pemerintah terkesankan kurang sungguh-sungguh melangkah. Itu antara lain
gamblang tecermin dalam volume impor bahan bakar minyak (BBM) yang tetap
tinggi.
Impor BBM
terus saja menggunung, karena konsumsi memang bisa dikatakan tetap tak
terkendali. Program-program yang disiapkan untuk itu, di tahap implementasi,
nyaris menguap begitu saja. Bahkan, seperti dalam kasus program mobil murah,
sikap dan kebijakan pemerintah sungguh tidak produktif -- bahkan kontradiktif
-- dengan tuntutan kondisional menyangkut pengendalian konsumsi BBM ini.
Jadi,
sikap seperti itu harus ditanggalkan. Terlebih di tengah tren pelambatan
ekonomi nasional sekarang ini, pemerintah kudu lebih trengginas bertindak.
Kebijakan dan program-program yang sudah disiapkan harus konsisten
diimplementasikan.
Di sisi
lain, setelah BI menaikkan lagi BI Rate, pemerintah juga harus meluncurkan
kebijakan yang berdampak sebagai stimulus sehingga ekonomi nasional -- terutama
sektor riil -- tetap mampu menggeliat.***
Jakarta,
16 November 2013