Tindak penyadapan
seperti dilakukan pemerintah AS dan Australia terhadap sejumlah negara,
termasuk Indonesia, merupakan bagian kegiatan spionase alias mata-mata (spy).
Kegiatan spionase sendiri lumlah dan wajar dilakukan suatu negara terhadap
negara lain untuk mengamankan kepentingan nasional mereka. Spionase adalah
wujud keinginan atau dorongan suatu negara untuk mengetahui "jeroan"
negara lain.
Oleh sebab itu,
kegiatan spionase suatu negara tidak melulu ditujukan kepada negara yang
dianggap sebagai musuh (enemy). Negara-negara yang dianggap sahabat atau sekutu
pun bisa dan wajar menjadi objek kegiatan spionase, karena cakupan kepentingan
negara tidak selalu dalam konteks memenangi perang secara militer. Kepentingan
negara juga bisa dalam pengertian memenangi persaingan di bidang ekonomi,
sosial, budaya, sains, juga politik.
Jadi, demi alasan
strategis, AS pun bahkan "tega" menyadap lalu-lintas percakapan
telepon Kanselir Jerman Angela Merkel, misalnya. Padahal Jerman adalah salah
satu negara sekutu utama AS.
Sebaliknya, sama
sekali tidak bisa dijamin bahwa AS pun bebas dari tindak penyadapan oleh negara
lain -- termasuk oleh mitra dan sekutu mereka. Bahkan meski soal penyadapan
atau spionase menjadi perjanjian antarnegara sebagai tindakan yang dilarang
alias tak boleh dilakukan.
Karena itu,
terbongkarnya tindak penyadapan oleh AS dan Australia terhadap sejumlah negara
sebenarnya tak mengagetkan. Kasus tersebut lebih merupakan pembenaran bahwa
kepentingan nasional suatu negara berada di atas kepentingan apa pun.
Meski begitu,
secara moral, tindak penyadapan jelas tidak patut. Secara etis juga tercela.
Tindakan tersebut mencederai norma hubungan diplomatik. Oleh sebab itu,
terbongkarnya kasus penyadapan suatu negara hampir selalu menimbulkan
ketersinggungan atau bahkan kemurkaan pemerintah negara bersangkutan.
Ketersinggungan
atau kemarahan itu bisa diwujudkan dalam bentuk penyampaian nota protes dan
permintaan klarifikasi kepada negara pelaku penyadapan. Bisa pula kemarahan ini
diwujudkan dalam bentuk pengusiran diplomat atau bahkan pemutusan hubungan
diplomatik dengan negara pelaku penyadapan.
Tetapi pengusiran
diplomat atau pemutusan hubungan diplomatik lazimnya tidak terjadi jika negara
korban spionase bisa menerima klarifikasi serta penjelasan negara pelaku
penyadapan. Karena itu, heboh kasus penyadapan sejumlah negara oleh AS dan
Australia pun bisa dianggap selesai begitu saja. Cepat atau lambat, hubungan
diplomatik lantas menjadi normal atau bahkan mungkin mesra kembali.
Meski demikian,
secara internal kenegaraan kita sendiri, kasus itu tak patut dianggap selesai
begitu saja seiring langkah penyelesaian di jalur diplomatik -- apa pun itu:
entah sekadar melayangkan protes atau mengusir diplomat AS dan Australia.
Pemerintah tak boleh lantas berdiam diri. Pemerintah harus segera melakukan
pembenahan mendasar dan masif menyangkut pengamanan kepentingan nasional.
Dengan kata lain,
kasus penyadapan oleh Australia dan AS harus dijadikan pemerintah sebagai cambuk
untuk melakukan penelitian kompehensif mengenai kelemahan-kelemahan dalam
sistem keamanan dan pengamanan kepentingan nasional. Itu kemudian harus
dijadikan fondasi untuk membangun sistem baru yang bisa diandalkan sehingga
kepentingan nasional tak mudah diintip negara lain.
Selebihnya,
pemerintah harus membangun sistem intelijen yang benar-benar handal -- termasuk
dalam memata-matai negara lain! Toh, atas nama dan demi kepentingan nasional,
kegiatan spionase merupakan kelaziman dan kebutuhan strategis.***
Jakarta, 3
November 2013