03 November 2013

Penyadapan Terbongkar


Tindak penyadapan seperti dilakukan pemerintah AS dan Australia terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia, merupakan bagian kegiatan spionase alias mata-mata (spy). Kegiatan spionase sendiri lumlah dan wajar dilakukan suatu negara terhadap negara lain untuk mengamankan kepentingan nasional mereka. Spionase adalah wujud keinginan atau dorongan suatu negara untuk mengetahui "jeroan" negara lain.

Oleh sebab itu, kegiatan spionase suatu negara tidak melulu ditujukan kepada negara yang dianggap sebagai musuh (enemy). Negara-negara yang dianggap sahabat atau sekutu pun bisa dan wajar menjadi objek kegiatan spionase, karena cakupan kepentingan negara tidak selalu dalam konteks memenangi perang secara militer. Kepentingan negara juga bisa dalam pengertian memenangi persaingan di bidang ekonomi, sosial, budaya, sains, juga politik.

Jadi, demi alasan strategis, AS pun bahkan "tega" menyadap lalu-lintas percakapan telepon Kanselir Jerman Angela Merkel, misalnya. Padahal Jerman adalah salah satu negara sekutu utama AS.

Sebaliknya, sama sekali tidak bisa dijamin bahwa AS pun bebas dari tindak penyadapan oleh negara lain -- termasuk oleh mitra dan sekutu mereka. Bahkan meski soal penyadapan atau spionase menjadi perjanjian antarnegara sebagai tindakan yang dilarang alias tak boleh dilakukan.

Karena itu, terbongkarnya tindak penyadapan oleh AS dan Australia terhadap sejumlah negara sebenarnya tak mengagetkan. Kasus tersebut lebih merupakan pembenaran bahwa kepentingan nasional suatu negara berada di atas kepentingan apa pun.

Meski begitu, secara moral, tindak penyadapan jelas tidak patut. Secara etis juga tercela. Tindakan tersebut mencederai norma hubungan diplomatik. Oleh sebab itu, terbongkarnya kasus penyadapan suatu negara hampir selalu menimbulkan ketersinggungan atau bahkan kemurkaan pemerintah negara bersangkutan.

Ketersinggungan atau kemarahan itu bisa diwujudkan dalam bentuk penyampaian nota protes dan permintaan klarifikasi kepada negara pelaku penyadapan. Bisa pula kemarahan ini diwujudkan dalam bentuk pengusiran diplomat atau bahkan pemutusan hubungan diplomatik dengan negara pelaku penyadapan.

Tetapi pengusiran diplomat atau pemutusan hubungan diplomatik lazimnya tidak terjadi jika negara korban spionase bisa menerima klarifikasi serta penjelasan negara pelaku penyadapan. Karena itu, heboh kasus penyadapan sejumlah negara oleh AS dan Australia pun bisa dianggap selesai begitu saja. Cepat atau lambat, hubungan diplomatik lantas menjadi normal atau bahkan mungkin mesra kembali.

Meski demikian, secara internal kenegaraan kita sendiri, kasus itu tak patut dianggap selesai begitu saja seiring langkah penyelesaian di jalur diplomatik -- apa pun itu: entah sekadar melayangkan protes atau mengusir diplomat AS dan Australia. Pemerintah tak boleh lantas berdiam diri. Pemerintah harus segera melakukan pembenahan mendasar dan masif menyangkut pengamanan kepentingan nasional.

Dengan kata lain, kasus penyadapan oleh Australia dan AS harus dijadikan pemerintah sebagai cambuk untuk melakukan penelitian kompehensif mengenai kelemahan-kelemahan dalam sistem keamanan dan pengamanan kepentingan nasional. Itu kemudian harus dijadikan fondasi untuk membangun sistem baru yang bisa diandalkan sehingga kepentingan nasional tak mudah diintip negara lain.

Selebihnya, pemerintah harus membangun sistem intelijen yang benar-benar handal -- termasuk dalam memata-matai negara lain! Toh, atas nama dan demi kepentingan nasional, kegiatan spionase merupakan kelaziman dan kebutuhan strategis.***

Jakarta, 3 November 2013