24 November 2013

Penyimpangan Anggaran

Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal indikasi tindak penyimpangan anggaran negara, baik di instansi pemerintah pusat maupun daerah, jelas perkara serius. Serius, karena dugaan kasus tindak penyimpangan itu terbilang bejibun serta berkecenderungan terus meningkat.

Di sisi lain, dari segi nominal anggaran, tindak penyimpangan ini juga tak kalah gawat. Untuk semester I/2013, penyimpangan tersebut bernilai Rp 56,98 triliun (13.969 kasus). Angka itu meningkat signifikan dibanding semester II/2012 yang total bernilai Rp 9,72 triliun (12.947 kasus). 

Ditarik lebih jauh ke belakang, gambaran serupa tetap tertoreh. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa secara kuantitatif maupun kualitatif, tindak penyimpangan anggaran sudah tidak bisa dipandang remeh. 

Namun sungguh mengherankan bahwa laporan BPK soal indikasi penyimpangan anggaran negara ini nyaris tidak pernah ditindaklanjuti pemerintah. Seolah-olah pemerintah tidak merasa perlu melakukan berbagai pembenahan kelembagaan maupun penindakan hukum. Seolah-olah laporan BPK adalah dokumen tak berharga. 

Padahal laporan BPK sendiri tidak sekadar menyodorkan angka-angka, tetapi juga rinci membeberkan faktor penyebab kasus-kasus tindak penyimpangan itu. Misalnya, sistem pengendalian internal kedodoran, sistem administrasi diselewengkan, juga prinsip ekonomi diabaikan sehingga penggunaan anggaran tidak hemat, tidak efisien, dan tidak efektif. 

Dengan itu, mestinya pemerintah tidak sulit melakukan tindak-lanjut atas laporan BPK soal penyimpangan anggaran ini. 
Ibarat berkendara, pemerintah tinggal tancap gas. Pemerintah tak perlu bingung menentukan arah yang harus dituju karena BPK sudah memberikan peta jalan.

Pemerintah perlu atau bahkan secara moral wajib melakukan tindak-lanjut atas temuan BPK karena bagaimanapun anggaran negara harus digunakan dengan sebaik-baiknya. Terlebih di tengah kondisi penerimaan negara saat ini yang cenderung seret. 

Lebih dari itu, anggaran tak boleh digunakan secara semena-mena karena merupakan uang rakyat. Artinya, berbagai tindak penyimpangan harus dicegah -- atau ditindak tegas jika penyimpangan itu telanjur terjadi. Untuk itu, pembenahan moral aparat maupun pembenahan sistem kelembagaan merupakan keharusan. 
 
Namun, itu tadi, pemerintah sepertinya tidak memiliki cukup kemauan untuk melakukan tindak-lanjut atas berbagai kasus dugaan penyimpangan anggaran yang ditemukan dan dilaporkan BPK. Justru itu, moral culas di jajaran pemerintahan menyangkut anggaran pun seolah sengaja dipelihara. Begitu pula sistem pengendalian internal terkesankan dibiarkan terus memble. 

Dalam konteks itu, tak bisa tidak, reformasi birokrasi pemerintahan yang digulirkan sejak beberapa tahun terakhir pun seperti tak punya banyak arti. Reformasi birokrasi seolah bersifat setengah hati. Reformasi baru lebih banyak menyentuh aspek insentif finansial bagi pegawai ketimbang pembenahan mendasar sistem kelembagaan. 

Kenyataan itu menunjukkan perlunya dibuat ketentuan perundangan yang membuat pemerintah berkewajiban menindaklanjuti setiap temuan penyimpangan anggaran yang dilaporkan BPK. Tindak-lanjut bukan sekadar berupa pembenahan sistem kelembagaan dan moral aparat, melainkan juga proses hukum terhadap setiap temuan kasus penyimpangan.***


Jakarta, 24 November 2013