Dalam sepekan
terakhir, Menkeu Agus Martowardojo menunjukkan kegalauan menyangkut kuota bahan
bakar minyak (BBM) subsidi. Terakhir dalam forum rapat kerja dengan Komisi XI
DPR, kemarin, Menkeu kembali memperlihatkan kegalauannya itu.
Pada tahun
anggaran berjalan sekarang ini, kuota BBM subsidi ditetapkan sebanyak 46 juta
kiloliter. Nah, Menkeu galau bahwa kuota itu bisa jebol lagi. Bahkan angka
tentang itu, seperti tahun lalu, bisa amat signifikan. Tahun lalu, kuota BBM
subsidi ditetapkan 40 juta kiloliter. Namun dalam perjalanan, kuota itu
terlampaui menjadi 45,2 juta kiloliter.
Kegalauan Menkeu
soal kemungkinan kuota BBM subsidi ini lagi-lagi jebol amat beralasan. Pertama,
karena jebolnya kuota itu berimplikasi langsung dan amat serius: beban subsidi
BBM membengkak. Dalam APBN 2013, subsidi BBM dipatok Rp 193,8 triliun. Nah,
kalau angka tersebut ternyata harus ditambah akibat kuota BBM subsidi jebol,
ruang gerak anggaran niscaya menjadi sempit. Bahkan dengan subsidi BBM sebesar
Rp 193,8 triliun pun, pembangunan ekonomi nasional tak bisa melaju sebagaimana
mestinya. Jadi, kalau subsidi BBM ternyata harus ditambah, pembangunan ekonomi
jelas kian tersandera.
Alasan kedua yang
membuat Menkeu galau adalah kenyataan bahwa program penghematan BBM subsidi
lebih merupakan pepesan kosong. Program tersebut praktis gagal total karena
pemerintah memang tidak serius di tingkat implementasi. Padahal secara
konseptual, program penghematan BBM subsidi ini layak diacungi jempol.
Secara politis,
program tersebut juga terbilang tingkat tinggi -- dan karena itu harus menjadi
prioritas utama -- karena dicanangkan langsung oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, Juni tahun lalu. Terdiri atas lima langkah strategis, program
tersebut bahkan sudah bersifat operasional sehingga tinggal diimplementasikan
di lapangan.
Tetapi, itu tadi,
pemerintah sama sekali tidak menunjukkan keseriusan dalam mengimplementasikan
program penghematan BBM subsidi ini. Program tersebut tidak digulirkan sebagai
gerakan nasional yang terarah dan nyata. Sebut saja program konversi BBM ke
bahan bakar gas (BBG). Di lapangan, program ini nyaris tak terlihat. Bahkan
seperti di DKI Jakarta, program konversi BBM ke BBG ini -- notabene sudah
selangkah di depan -- justru mengalami kemunduran. Bukan saja karena
infrastruktur tidak diperluas, bahkan stasiun pengisian BBG yang sudah dibangun
pun belakangan tidak bisa beroperasi lantaran pasokan gas tersendat-sendat.
Jadi, karena
menyulitkan masyarakat yang menerapkannya, program konversi BBM ke BBG justru
menjadi disinsentif. Karena itu pula, khalayak luas pun menilai program
tersebut sama sekali tidak menarik atau bahkan tidak layak diadopsi. Terlebih
lagi pemerintah sendiri tidak mewajibkan kendaraan pribadi beralih menggunakan
BBG.
Nasib program
pengendalian konsumsi BBM melalui stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU)
juga kurang lebih sami mawon: tidak diimplementasikan di lapangan. Program
tersebut praktis tak pernah terdengar lagi. Sementara larangan kendaraan dinas
pemerintah dan BUMN/BUMD mengonsumsi BBM subsidi juga hanya hangat-hangat tahi
ayam. Selain terlampau mudah diakali, program tersebut juga tidak konsisten dan
tidak konsekuen diterapkan. Pemerintah terkesan tak acuh atau tutup mata terhadap berbagai
pelanggaran di lapangan.
Ironisnya,
Presiden sendiri terkesan tenang-tenang saja oleh kenyataan itu. Presiden
seperti sama sekali tak terusik bahwa program penghematan BBM tak diterapkan
jajaran pemerintahan sebagaimana mestinya. Bahkan sekadar melakukan evaluasi
pun tampaknya Presiden tak menganggap perlu.
Karena itu, wajar
jika Menkeu Agus Martowardojo pun galau.***
Jakarta, 14 Januari
2013