14 Januari 2013

Kegalauan Menkeu


Dalam sepekan terakhir, Menkeu Agus Martowardojo menunjukkan kegalauan menyangkut kuota bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Terakhir dalam forum rapat kerja dengan Komisi XI DPR, kemarin, Menkeu kembali memperlihatkan kegalauannya itu.

Pada tahun anggaran berjalan sekarang ini, kuota BBM subsidi ditetapkan sebanyak 46 juta kiloliter. Nah, Menkeu galau bahwa kuota itu bisa jebol lagi. Bahkan angka tentang itu, seperti tahun lalu, bisa amat signifikan. Tahun lalu, kuota BBM subsidi ditetapkan 40 juta kiloliter. Namun dalam perjalanan, kuota itu terlampaui menjadi 45,2 juta kiloliter.

Kegalauan Menkeu soal kemungkinan kuota BBM subsidi ini lagi-lagi jebol amat beralasan. Pertama, karena jebolnya kuota itu berimplikasi langsung dan amat serius: beban subsidi BBM membengkak. Dalam APBN 2013, subsidi BBM dipatok Rp 193,8 triliun. Nah, kalau angka tersebut ternyata harus ditambah akibat kuota BBM subsidi jebol, ruang gerak anggaran niscaya menjadi sempit. Bahkan dengan subsidi BBM sebesar Rp 193,8 triliun pun, pembangunan ekonomi nasional tak bisa melaju sebagaimana mestinya. Jadi, kalau subsidi BBM ternyata harus ditambah, pembangunan ekonomi jelas kian tersandera.

Alasan kedua yang membuat Menkeu galau adalah kenyataan bahwa program penghematan BBM subsidi lebih merupakan pepesan kosong. Program tersebut praktis gagal total karena pemerintah memang tidak serius di tingkat implementasi. Padahal secara konseptual, program penghematan BBM subsidi ini layak diacungi jempol.

Secara politis, program tersebut juga terbilang tingkat tinggi -- dan karena itu harus menjadi prioritas utama -- karena dicanangkan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Juni tahun lalu. Terdiri atas lima langkah strategis, program tersebut bahkan sudah bersifat operasional sehingga tinggal diimplementasikan di lapangan.

Tetapi, itu tadi, pemerintah sama sekali tidak menunjukkan keseriusan dalam mengimplementasikan program penghematan BBM subsidi ini. Program tersebut tidak digulirkan sebagai gerakan nasional yang terarah dan nyata. Sebut saja program konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG). Di lapangan, program ini nyaris tak terlihat. Bahkan seperti di DKI Jakarta, program konversi BBM ke BBG ini -- notabene sudah selangkah di depan -- justru mengalami kemunduran. Bukan saja karena infrastruktur tidak diperluas, bahkan stasiun pengisian BBG yang sudah dibangun pun belakangan tidak bisa beroperasi lantaran pasokan gas tersendat-sendat.

Jadi, karena menyulitkan masyarakat yang menerapkannya, program konversi BBM ke BBG justru menjadi disinsentif. Karena itu pula, khalayak luas pun menilai program tersebut sama sekali tidak menarik atau bahkan tidak layak diadopsi. Terlebih lagi pemerintah sendiri tidak mewajibkan kendaraan pribadi beralih menggunakan BBG.

Nasib program pengendalian konsumsi BBM melalui stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) juga kurang lebih sami mawon: tidak diimplementasikan di lapangan. Program tersebut praktis tak pernah terdengar lagi. Sementara larangan kendaraan dinas pemerintah dan BUMN/BUMD mengonsumsi BBM subsidi juga hanya hangat-hangat tahi ayam. Selain terlampau mudah diakali, program tersebut juga tidak konsisten dan tidak konsekuen diterapkan. Pemerintah terkesan tak  acuh atau tutup mata terhadap berbagai pelanggaran di lapangan.

Ironisnya, Presiden sendiri terkesan tenang-tenang saja oleh kenyataan itu. Presiden seperti sama sekali tak terusik bahwa program penghematan BBM tak diterapkan jajaran pemerintahan sebagaimana mestinya. Bahkan sekadar melakukan evaluasi pun tampaknya Presiden tak menganggap perlu.

Karena itu, wajar jika Menkeu Agus Martowardojo pun galau.***

Jakarta, 14 Januari 2013