Tekad pemerintah
bersama Bank Indonesia melakukan penyederhanaan nominal rupiah patut didukung
semua pihak. Sebab, memang, kondisi nominal rupiah sekarang ini sudah over
digit. Kondisi tersebut membuat rupiah menjadi terkesan inferior dibanding
berbagai mata uang lain di dunia. Seolah-olah rupiah adalah mata uang yang
tidak berharga.
Gambaran tentang
itu sangat terang-benderang. Nominal harga sebiji kerupuk di Jakarta, misalnya,
kini praktis sudah empat digit. Untuk barang yang lebih berharga, tentu,
nominal harga ini lebih banyak lagi. Sebut saja nominal harga sebuah kendaraan
kelas menengah yang mencapai sembilan digit!
Selain terkesan
inferior, nominal mata uang yang over digit ini juga secara teknis finansial
tidak efisien. Setiap sistem pencatatan transaksi ataupun penyimpanan data
keuangan ditandai oleh berderet-deret angka. Makin banyak transaksi, atau makin
besar data keuangan, makin banyak pula digit angka yang harus dicatat. Nominal
APBN, sebagai contoh, kini berderet sampai 13 digit.
Kenyataan seperti
itu lambat-laun bisa menyulitkan, karena transaksi keuangan terus bertumbuh
secara signifikan. Dengan tingkat pertumbuhan rata-rata mendekati 200 persen
per tahun, digit nominal angka transaksi nasional jelas makin lama menjadi
makin panjang.
Sekali lagi, itu
sungguh tidak efisien. Karena itu, redenominasi rupiah memang punya urgensi
tinggi. Lewat redenominasi, digit nominal rupiah menjadi ramping. Secara
psikologis, itu membuat rupiah jadi relatif gagah alias tidak lagi inferior
dalam percaturan transaksi keuangan internasional.
Dalam skema yang
disusun pemerintah dan Bank Indonesia,
redenominasi
rupiah ini akan dilakukan dengan menghilangkan tiga angka nol tanpa mengurangi
sedikit pun nilai tukar atau nilai intrinsiknya. Jadi, pecahan uang Rp 1.000,
misalnya, disederhanakan menjadi Rp 1. Atau pecahan uang Rp 100.000 berubah
menjadi Rp 100.
Namun justru itu,
rencana redenominasi rupiah ini mutlak harus disosialisasikan secara intensif
dan matang. Sebelum diterapkan, masyarakat harus sudah dibuat benar-benar paham
dan siap secara psikologis. Dengan demikian, redenominasi rupiah bisa
benar-benar efektif.
Untuk itu,
pemerintah dan Bank Indonesia harus menjaga betul agar rencana redenominasi
rupiah tidak menimbulkan persepsi salah di masyarakat luas. Tidak boleh sampai
terjadi bahwa redenominasi dipersepsi berdampak mengurangi nilai tukar rupiah.
Persepsi seperti itu sungguh berbahaya. Masyarakat niscaya merasa tidak aman
menggenggam rupiah sehingga panik memburu valuta asing. Akibatnya, jelas, nilai
rupiah pasti hancur. Tak bisa tidak, kalau sudah begitu, ekonomi nasional juga
jadi remuk-redam.
Soal persepsi
atau kepahaman masyarakat luas tentang redenominasi rupiah ini memang krusial.
Jangankan orang awam, bahkan kelompok sosial yang melek isu-isu ekonomi saja
sekarang ini belum bisa menangkap secara utuh rencana pemerintah dan Bank
Indonesia tentang itu. Kalangan pelaku pasar modal di dalam negeri, misalnya,
beranggapan bahwa redenominasi rupiah secara teknis bakal mengacaukan transaksi
di bursa saham.
Pada tahap
implementasi, terutama pada masa transisi, redenominasi rupiah juga tak kurang
krusial. Itu terkait potensi moral hazard di masyarakat. Kalangan pedagang,
misalnya, bukan tidak mungkin melakukan penyesuaian harga secara berlebihan
sehingga secara nasional inflasi bisa tak terkendali.
Walhasil,
redenominasi rupiah bukan pekerjaan mudah -- tapi juga bukan perkara musykil
untuk diterapkan. Karena itu, berbagai kemungkinan buruk harus benar-benar
diperhitungkan dan diantisipasi dengan cermat. Dalam konteks ini, pemerintah
dan Bank Indonesia harus membuang keyakinan berlebihan.***
Jakarta, 23 Januari 2013