Bencana banjir
yang melanda sejumlah daerah bukan hanya membuat banyak orang harus mengungsi,
melainkan juga menyisakan persoalan serius menyangkut kondisi infrastruktur
ekonomi -- terutama jalan raya. Di berbagai lokasi yang sempat tergenang
banjir, permukaan jalan kini rusak-rusak. Lapisan aspal terkelupas atau jalan
berlubang-lubang.
Kenyataan itu tak
boleh dibiarkan berlarut-larut karena prasarana jalan adalah urat nadi ekonomi.
Terlebih lagi bila itu termasuk jalan protokol di kota besar seperti Jakarta:
selain mengemban fungsi ekonomi, jalan raya juga menjadi semacam etalase
lingkungan kota. Jadi, jalan yang koyak-koyak dan berlubang di sana-sini bukan
sekadar menganggu aktivitas sosial ekonomi, melainkan juga mencoreng keindahan
dan kenyamanan kota.
Dalam sejumlah
kasus, kondisi jalan raya yang rusak digerus banjir ini bahkan menjadi sumber
malapetaka berupa kecelakaan lalu lintas -- entah tabrakan, terperosok, atau
terguling. Korban jiwa kadang tak terhindarkan. Pengguna jalan, terutama
pengendara sepeda motor, tewas terjengkang gara-gara kendaraan terperosok
lubang.
Secara ekonomi,
jalan raya yang bopeng-bopeng dan penuh lubang ini juga menimbulkan biaya
tinggi. Ongkos transportasi menjadi membengkak. Paling tidak karena waktu
tempuh menjadi molor. Belum lagi biaya perawatan kendaraan juga otomatis
berlipat.
Karena itu,
pascabanjir sekarang ini, penanganan infrastruktur jalan harus menjadi
prioritas tinggi -- entah di pemerintah pusat maupun di jajaran pemda. Karena
berperan strategis sebagai urat nadi aktivitas sosial-ekonomi, rehabilitasi
jalan raya tak boleh diperlakukan bukan sebagai prioritas. Bagaimanapun
menunda-nunda kegiatan tersebut bisa sangat mahal. Sebab kerugian yang
ditanggung masyarakat pasti jauh lebih besar ketimbang biaya yang dibutuhkan
untuk merehabilitasi jalan.
Untuk itu,
pemerintah dituntut memiliki keinginan politik kuat sehingga soal biaya atau
pendanaan tidak menjadi batu sandungan. Dengan kemauan politik kuat, jajaran
pemerintah di pusat maupun di daerah-daerah niscaya bisa mengupayakan pendanaan
bagi keperluan rehabilitasi jalan raya pascabanjir ini.
Pengalaman selama
ini menunjukkan, rehabilitasi jalan raya terkesan dilakukan asal-asalan atau
setengah hati. Bahkan di ibu kota Jakarta sekalipun, hasil perbaikan jalan
terasa amat minimalis. Paling tidak, aspek kenyamanan jalan tak serta-merta
tergelar karena permukaan jalan bergelombang atau bentol-bentol.
Dalam kasus lebih
umum, kondisi jalan pascarehabilitasi hanya membaik dalam tempo sekejap.
Sekadar terkena guyuran hujan satu-dua kali saja, permukaan aspal sudah
mengelupas lagi. Lubang-lubang juga kembali menganga, sehingga jalan menjadi
bopeng-bopeng.
Akibatnya,
seperti jalan pantura di Jawa, nyaris sepanjang tahun dalam kondisi buruk.
Langkah perbaikan atau rehabilitasi yang dilakukan pemerintah cenderung
bersifat tambal-sulam. Perbaikan serius sekadar ditunjukkan menjelang Lebaran.
Itu pun tak selalu dikawal dengan pemeliharaan yang ketat, sehingga dalam tempo
relatif singkat pula kondisi jalan lagi-lagi sarat kerusakan. Terlebih jalan
pantura Jawa ini begitu berat menanggung beban: bukan hanya arus lalu lintas
amat padat, melainkan juga tonase kendaraan (truk) juga rata-rata kelas berat.
Kecenderungan
buruk seperti itu tak sepatutnya dipertahankan karena cenderung menghamburkan
anggaran. Untuk itu, rehabilitasi jalan raya pascabanjir kali ini seyogyanya
menjadi momen menuju praktik perbaikan dan pemeliharaan prasarana umum yang
lebih bertanggung jawab dan menjamin manfaat optimal bagi masyarakat luas.***
Jakarta, 25
Januari 2013