25 Januari 2013

Rehabilitasi Jalan Raya

Bencana banjir yang melanda sejumlah daerah bukan hanya membuat banyak orang harus mengungsi, melainkan juga menyisakan persoalan serius menyangkut kondisi infrastruktur ekonomi -- terutama jalan raya. Di berbagai lokasi yang sempat tergenang banjir, permukaan jalan kini rusak-rusak. Lapisan aspal terkelupas atau jalan berlubang-lubang.

Kenyataan itu tak boleh dibiarkan berlarut-larut karena prasarana jalan adalah urat nadi ekonomi. Terlebih lagi bila itu termasuk jalan protokol di kota besar seperti Jakarta: selain mengemban fungsi ekonomi, jalan raya juga menjadi semacam etalase lingkungan kota. Jadi, jalan yang koyak-koyak dan berlubang di sana-sini bukan sekadar menganggu aktivitas sosial ekonomi, melainkan juga mencoreng keindahan dan kenyamanan kota.

Dalam sejumlah kasus, kondisi jalan raya yang rusak digerus banjir ini bahkan menjadi sumber malapetaka berupa kecelakaan lalu lintas -- entah tabrakan, terperosok, atau terguling. Korban jiwa kadang tak terhindarkan. Pengguna jalan, terutama pengendara sepeda motor, tewas terjengkang gara-gara kendaraan terperosok lubang.

Secara ekonomi, jalan raya yang bopeng-bopeng dan penuh lubang ini juga menimbulkan biaya tinggi. Ongkos transportasi menjadi membengkak. Paling tidak karena waktu tempuh menjadi molor. Belum lagi biaya perawatan kendaraan juga otomatis berlipat.

Karena itu, pascabanjir sekarang ini, penanganan infrastruktur jalan harus menjadi prioritas tinggi -- entah di pemerintah pusat maupun di jajaran pemda. Karena berperan strategis sebagai urat nadi aktivitas sosial-ekonomi, rehabilitasi jalan raya tak boleh diperlakukan bukan sebagai prioritas. Bagaimanapun menunda-nunda kegiatan tersebut bisa sangat mahal. Sebab kerugian yang ditanggung masyarakat pasti jauh lebih besar ketimbang biaya yang dibutuhkan untuk merehabilitasi jalan.

Untuk itu, pemerintah dituntut memiliki keinginan politik kuat sehingga soal biaya atau pendanaan tidak menjadi batu sandungan. Dengan kemauan politik kuat, jajaran pemerintah di pusat maupun di daerah-daerah niscaya bisa mengupayakan pendanaan bagi keperluan rehabilitasi jalan raya pascabanjir ini.

Pengalaman selama ini menunjukkan, rehabilitasi jalan raya terkesan dilakukan asal-asalan atau setengah hati. Bahkan di ibu kota Jakarta sekalipun, hasil perbaikan jalan terasa amat minimalis. Paling tidak, aspek kenyamanan jalan tak serta-merta tergelar karena permukaan jalan bergelombang atau bentol-bentol.

Dalam kasus lebih umum, kondisi jalan pascarehabilitasi hanya membaik dalam tempo sekejap. Sekadar terkena guyuran hujan satu-dua kali saja, permukaan aspal sudah mengelupas lagi. Lubang-lubang juga kembali menganga, sehingga jalan menjadi bopeng-bopeng.

Akibatnya, seperti jalan pantura di Jawa, nyaris sepanjang tahun dalam kondisi buruk. Langkah perbaikan atau rehabilitasi yang dilakukan pemerintah cenderung bersifat tambal-sulam. Perbaikan serius sekadar ditunjukkan menjelang Lebaran. Itu pun tak selalu dikawal dengan pemeliharaan yang ketat, sehingga dalam tempo relatif singkat pula kondisi jalan lagi-lagi sarat kerusakan. Terlebih jalan pantura Jawa ini begitu berat menanggung beban: bukan hanya arus lalu lintas amat padat, melainkan juga tonase kendaraan (truk) juga rata-rata kelas berat.

Kecenderungan buruk seperti itu tak sepatutnya dipertahankan karena cenderung menghamburkan anggaran. Untuk itu, rehabilitasi jalan raya pascabanjir kali ini seyogyanya menjadi momen menuju praktik perbaikan dan pemeliharaan prasarana umum yang lebih bertanggung jawab dan menjamin manfaat optimal bagi masyarakat luas.***

Jakarta, 25 Januari 2013