Lagi-lagi pemerintah kedodoran mengamankan harga kebutuhan pokok pangan. Betapa tidak, karena harga-harga melambung tak terbendung. Secara rata-rata, kenaikan harga pangan sekarang ini sudah berkisar antara 5 hingga 20 persen.
Karena itu, wajar
bila masyarakat pun menjerit dan resah -- karena tanpa kenaikan harga pangan
pun beban hidup sudah demikian berat. Padahal, sangat boleh jadi, harga pangan
sendiri masih mungkin terus menanjak karena momen Ramadhan -- dan kemudian
disusul Lebaran -- secara psikologis biasa mendongkrak permintaan.
Mestinya kenaikan
harga pangan ini bisa diantisipasi sejak jauh-jauh hari. Toh faktor-faktor
pendorong kenaikan itu sudah gamblang dikenali: tibanya musim paceklik plus
situasi psikologis menjelang Ramadhan dan Lebaran. Begitu pula pengucuran gaji
ke-13 bagi PNS dan TNI/Polri pada Juli ini mestinya sudah diperhitungkan
sebagai faktor lain yang niscaya mendorong harga barang dan jasa, termasuk
bahan pangan, terkerek.
Walhasil, dampak
kombinasi faktor-faktor itu terhadap harga pangan seharusnya bisa
diperhitungkan -- dan karena itu tak beralasan tak bisa dikendalikan. Artinya,
harga pangan tak mesti melonjak liar menjelang momen tertentu seperti Ramadhan
sekarang ini. Kalaupun tak terhindarkan, kenaikan itu seharusnya tak sampai bak
air bah yang begitu niscaya tak terbendung.
Jadi, kenapa
pemerintah kedodoran dalam mengamankan harga pangan ini? Jawabnya: karena
kepedulian pemerintah tampaknya begitu tipis, sehingga langkah-langkah antisipasi
barangkali dianggap tidak perlu. Langkah antisipasi diperlakukan seolah
tindakan percuma karena kenaikan harga pangan menghadapi Ramadhan dipandang
sebagai keniscayaan.
Karena itu pula,
empati pemerintah terhadap derita rakyat kebanyakan tak kurang tipis pula
sebagaimana tecermin dari sikap pejabat-pejabat yang memiliki otoritas di
bidang pangan. Bagi mereka, kenaikan harga pangan yang rata-rata sudah di atas
10 persen menjelang momen siklikal seperti Ramadhan dan Lebaran sekarang ini adalah
wajar. Jadi, seolah-olah kenaikan itu adalah risiko tak terhindarkan.
Sikap seperti itu
sungguh sesat -- karena menganggap lonjakan harga tidak menjadi beban ekonomi
yang menambah kehidupan rakyat. Tabiat memandang enteng masalah yang dihadapi rakyat
ini berbahaya, karena berdampak mengikis kepekaan sosial. Pemerintah tak peka
lagi terhadap derita rakyat akibat beban hidup yang semakin menghimpit. Karena
tidak peka lagi, langkah-langkah antisipasi pun terkesan mereka anggap tidak
urgen.
Karena itu,
pemerintah lagi-lagi kedodoran dalam menghadapi lonjakan harga pangan ini.
Sampai-sampai pemerintah tak berani memastikan penurunan harga. Dalam rapat
terbatas kabinet bidang perekonomian, Senin lalu, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pun sekadar mengarahkan menteri-menteri agar menjaga stabilitas harga
-- bukan menurunkan harga!
Dalam konteks
itu, mekanisme operasi pasar ditetapkan sebagai strategi. Padahal operasi pasar
sudah acap kali terbukti mandul -- karena terkesan dilakukan setengah hati
alias tidak bersifat habis-habisan. Operasi pasar tak pernah lagi mampu membuat
mati kutu spekulan selaku pihak yang mendikte pasar dengan memanfaatkan
momen-momen seperti Ramadhan atau Lebaran yang sarat situasi psikologis.
Menghadapi lonjakan
harga pangan sekarang ini, Presiden juga menginstruksikan peningkatan produksi
melalui seluruh instrumen dan kebijakan. Instruksi seperti itu jelas jempolan.
Tetapi mementumnya bukan di saat harga sudah melambai-lambai di langit tinggi,
melainkan mestinya jauh di belakang hari ketika harga relatif masih
adem-ayem.***
Jakarta, 19 Juli
2011