19 Juli 2011

Kedodoran Menghadapi Harga Pangan

Lagi-lagi pemerintah kedodoran mengamankan harga kebutuhan pokok pangan. Betapa tidak, karena harga-harga melambung tak terbendung. Secara rata-rata, kenaikan harga pangan sekarang ini sudah berkisar antara 5 hingga 20 persen.

Karena itu, wajar bila masyarakat pun menjerit dan resah -- karena tanpa kenaikan harga pangan pun beban hidup sudah demikian berat. Padahal, sangat boleh jadi, harga pangan sendiri masih mungkin terus menanjak karena momen Ramadhan -- dan kemudian disusul Lebaran -- secara psikologis biasa mendongkrak permintaan.

Mestinya kenaikan harga pangan ini bisa diantisipasi sejak jauh-jauh hari. Toh faktor-faktor pendorong kenaikan itu sudah gamblang dikenali: tibanya musim paceklik plus situasi psikologis menjelang Ramadhan dan Lebaran. Begitu pula pengucuran gaji ke-13 bagi PNS dan TNI/Polri pada Juli ini mestinya sudah diperhitungkan sebagai faktor lain yang niscaya mendorong harga barang dan jasa, termasuk bahan pangan, terkerek.

Walhasil, dampak kombinasi faktor-faktor itu terhadap harga pangan seharusnya bisa diperhitungkan -- dan karena itu tak beralasan tak bisa dikendalikan. Artinya, harga pangan tak mesti melonjak liar menjelang momen tertentu seperti Ramadhan sekarang ini. Kalaupun tak terhindarkan, kenaikan itu seharusnya tak sampai bak air bah yang begitu niscaya tak terbendung.

Jadi, kenapa pemerintah kedodoran dalam mengamankan harga pangan ini? Jawabnya: karena kepedulian pemerintah tampaknya begitu tipis, sehingga langkah-langkah antisipasi barangkali dianggap tidak perlu. Langkah antisipasi diperlakukan seolah tindakan percuma karena kenaikan harga pangan menghadapi Ramadhan dipandang sebagai keniscayaan.

Karena itu pula, empati pemerintah terhadap derita rakyat kebanyakan tak kurang tipis pula sebagaimana tecermin dari sikap pejabat-pejabat yang memiliki otoritas di bidang pangan. Bagi mereka, kenaikan harga pangan yang rata-rata sudah di atas 10 persen menjelang momen siklikal seperti Ramadhan dan Lebaran sekarang ini adalah wajar. Jadi, seolah-olah kenaikan itu adalah risiko tak terhindarkan.

Sikap seperti itu sungguh sesat -- karena menganggap lonjakan harga tidak menjadi beban ekonomi yang menambah kehidupan rakyat. Tabiat memandang enteng masalah yang dihadapi rakyat ini berbahaya, karena berdampak mengikis kepekaan sosial. Pemerintah tak peka lagi terhadap derita rakyat akibat beban hidup yang semakin menghimpit. Karena tidak peka lagi, langkah-langkah antisipasi pun terkesan mereka anggap tidak urgen.

Karena itu, pemerintah lagi-lagi kedodoran dalam menghadapi lonjakan harga pangan ini. Sampai-sampai pemerintah tak berani memastikan penurunan harga. Dalam rapat terbatas kabinet bidang perekonomian, Senin lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun sekadar mengarahkan menteri-menteri agar menjaga stabilitas harga -- bukan menurunkan harga!

Dalam konteks itu, mekanisme operasi pasar ditetapkan sebagai strategi. Padahal operasi pasar sudah acap kali terbukti mandul -- karena terkesan dilakukan setengah hati alias tidak bersifat habis-habisan. Operasi pasar tak pernah lagi mampu membuat mati kutu spekulan selaku pihak yang mendikte pasar dengan memanfaatkan momen-momen seperti Ramadhan atau Lebaran yang sarat situasi psikologis.

Menghadapi lonjakan harga pangan sekarang ini, Presiden juga menginstruksikan peningkatan produksi melalui seluruh instrumen dan kebijakan. Instruksi seperti itu jelas jempolan. Tetapi mementumnya bukan di saat harga sudah melambai-lambai di langit tinggi, melainkan mestinya jauh di belakang hari ketika harga relatif masih adem-ayem.***

Jakarta, 19 Juli 2011