18 Juli 2011

Densus 99 Bukan Alat Negara

Punya kesadaran menjaga keamanan negara dan bangsa memang bagus. Bahkan kesadaran itu harus dan wajib dimiliki segenap anak bangsa. Bagaimanapun, mengandalkan masalah keamanan negara dan bangsa melulu kepada kepolisian dan TNI jelas keliru. Sebab polisi dan TNI sekadar bagian komponen bangsa yang kebetulan ditugasi mengemban fungsi alat negara. Sementara masalah keamanan bangsa dan negara sejatinya merupakan tanggung jawab kita bersama.

Artinya, di samping polisi dan TNI, berbagai kalangan di negeri kita ini berkewajiban memelihara dan menjaga keamanan bangsa dan negara. Karena itu, kesadaran GP Anshor -- organ kepemudaan Nahdlatul Ulama -- menyangkut keamanan negara dan bangsa sungguh patut kita apresiasi. Kesadaran itu pertanda kaum muda melek sekaligus trengginas dalam menghadapi ancaman yang potensial mengoyak-ngoyak keamanan bersama, khususnya ancaman aksi terorisme. Mereka tidak tidur, tidak melempem, dan tidak ikut terseret arus hedonisme yang kini menggejala bersamaan dengan tendensi apatisme di kalangan pemuda kita.

Tetapi, kenapa kesadaran itu diwujudkan GP Anshor dengan membentuk sebuah organ bernama Detasemen Khusus (Densus) 99? Kita khawatir organ tersebut berfungsi laiknya alat negara -- sesuatu yang tidak boleh terjadi justru demi tegaknya tertib bernegara.

Kekhawatiran itu sendiri beralasan. Di satu sisi, dari namanya saja, Densus 99 langsung menggiring asosiasi orang kepada sosok Densus 88 -- organ Polri yang mengemban tugas menangani terorisme. Semua orang tahu bagaimana sepak-terjang Densus 88 ini. Nah, apa serupa itu pula sosok Densus 99 ini? Padahal sepak-terjang Densus 88 sendiri bukan tanpa kritik. Kalangan penggiat HAM, terutama, menilai Densus 88 terlampau lugas dalam bertindak sehingga acap mengabaikan masalah HAM.

Di sisi lain, konon, Densus 99 memang disiapkan sebagai organ yang juga bergerak memerangi aksi-aksi terorisme -- khususnya fenomena radikalisasi yang mengatasnamakan agama. Dalam konteks ini, Densus 99 bertugas melakukan pencegahan terhadap aksi-aksi terorisme serta memberikan edukasi kepada masyarakat agar tidak terprovokasi gerakan-gerakan yang mengarah kepada terorisme ataupun gerakan yang menginginkan Indonesia bubar.

Sepanjang melakukan pencegahan terorisme melalui proses edukasi masyarakat dalam rangka membantu tugas kepolisian, khususnya Densus 88, kita mendukung penuh keberadaan Densus 99 ini. Tetapi jika ternyata lebih dari sekadar memberikan gerakan penyadaran -- tergoda bertindak menyerupai atau bahkan menyerobot peran Densus 88 sebagai alat resmi negara -- keberadaan Densus 99 patut dirisaukan.

Betapa tidak, karena Densus 99 jelas tidak memiliki landasan hukum untuk berperan sebagai alat negara laiknya kepolisian. Justru itu, tertib hukum di lapangan niscaya amburadul. Alih-alih turut membantu menjaga keamanan bersama, Densus 99 bisa-bisa malah membuat keamanan di masyarakat terkoyak-koyak.

Mungkin benar, kelahiran Densus 99 merupakan respons atas kekecewaan masyarakat, khususnya GP Anshor, terhadap penanganan terorisme oleh kepolisian yang tak kunjung tuntas. Boleh jadi juga, kehadiran Densus 99 adalah wujud kegeraman GP Anshor atas berbagai gerakan radikalisasi yang mengatasnamakan agama Islam.

Namun demikian, kiprah Densus 99 tetap tak boleh sampai memasuki koridor yang disiapkan untuk Densus 88. Sebab Densus 99 bukan alat negara. Densus 99 harus diniatkan sekadar menjadi organ kemasyarakatan yang berperan membantu kepolisian menangani terorisme melalui fungsi-fungsi penyadaran dan edukasi.***

Jakarta, 17 Juli 2011