Untuk kali
kesekian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) kembali mengeluarkan fatwa. Yang masih
hangat adalah fatwa tentang kegiatan usaha tambang. Dalam fatwa nomor 22 tahun
2011 itu dinyatakan bahwa kegiatan pertambangan boleh dilakukan sepanjang untuk
kemaslahatan umat, tidak mendatangkan kerusakan, dan ramah lingkungan.
Konon, fatwa tersebut dikeluarkan sebagai
respons sekaligus wujud keprihatinan MUI atas kondisi lingkungan alam kita yang
rusak parah. Kerusakan itu terutama akibat kegiatan pertambangan yang tidak
mengindahkan persyaratan teknis sekaligus mengabaikan tuntutan etis dan moral
tentang pengelolaan sumberdaya alam.
Fatwa itu jelas oke. Oke, karena fatwa itu
melindungi kepentingan umat: bahwa kegiatan pertambangan tidak boleh sampai
merugikan secara ekonomi maupun fisik lingkungan. Fatwa itu juga oke karena
sejalan dengan kampanye pertambangan ramah lingkungan (green mining) alias
tidak menimbulkan kerusakan sehingga menyengsarakan masyarakat luas. Bukankah,
memang, kegiatan pertambangan di negeri kita selama ini cenderung brutal
sehingga mengancam kelestarian lingkungan sekaligus menafikan kemaslahatan
khalayak?
Tetapi kenapa muncul kecurigaan atau
bahkan sinisme bahwa itu adalah fatwa pesanan? Kenapa orang tidak yakin bahwa
fatwa itu sepenuhnya objektif melindungi kepentingan masyarakat luas? Kenapa
orang tidak percaya bahwa fatwa itu mengusung kemaslahatan umat?
Sebenarnya kecurigaan dan sinisme
masyarakat terhadap fatwa MUI ini bukan baru sekarang saja. Acapkali
sikap-sikap seperti itu muncul seiring peluncuran fatwa-fatwa MUI. Kenapa?
Boleh jadi, jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan seperti itu antara lain karena MUI kelewat sering
mengeluarkan fatwa. Dalam ungkapan lugas: karena fatwa sudah mengalami inflasi!
Nah, karena kelewat sering mengeluarkan
fatwa, orang pun beroleh kesan bahwa MUI tidak cukup selektif dan tak jeli
dalam mengeluarkan fatwa. Karena tidak selektif, isu-isu yang tidak urgen pun
-- lantaran sudah terang-benderang kedudukan syariatnya di mata umat -- menjadi
objek fatwa. Misalnya fatwa tentang pornografi dan pornoaksi. Tanpa fatwa MUI
pun umat sudah bisa menilai sendiri bahwa pornografi dan pornoaksi tidak patut
secara moral -- dan karena itu secara syariat pun sulit bisa diterima.
Sinisme masyarakat kian kental manakala
fatwa MUI ternyata tidak efektif karena umat tidak menggubrisnya. Seolah-olah
fatwa MUI sekadar angin lalu di tengah arus gejala sosial di masyarakat.
Jadi, sinisme masyarakat terhadap fatwa
MUI ini tak bisa disalahkan. Bahkan MUI layak menjadikan itu sebagai cambuk
untuk menata diri menyangkut peran mereka di tengah masyarakat, khususnya umat
Islam.
Dalam konteks itu, MUI sepatutnya menahan
diri agar tidak sering gatal mengeluarkan fatwa. MUI tak boleh mudah tergoda
menanggapi fenomena-fenomena sosial yang berkembang dengan meluncurkan fatwa.
Terlebih kalau itu sekadar menanggapi pesanan pihak tertentu -- betapapun
baiknya motif di balik pesanan itu.
Memang, MUI sebagai sumber rujukan berkewajiban
memberikan pedoman hukum syariat kepada umat berupa fatwa. Tetapi jika itu
dilakukan kurang selektif -- apalagi bila sarat muatan sponsor -- maka fatwa
niscaya mengalami inflasi. Sebagai fenomena inflasi, fatwa-fatwa itu bisa
mubazir karena tidak benar-benar dimanfaatkan umat sebagai pedoman dalam
bersikap.
Karena itu, MUI hendaknya merumuskan fatwa
benar-benar sebagai jawaban atas keresahan umat semata akibat ketiadaan pedoman
syariat di tengah arus fenomena sosial yang berkembang di masyarakat. Fatwa MUI
tidak boleh masuk domain pemerintah -- terlebih kalau kegelisahan umat tak lain
karena hukum positif gagal ditegakkan.***
Jakarta, 27 Juli
2011