27 Juli 2011

Fatwa Pesanan?


Untuk kali kesekian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) kembali mengeluarkan fatwa. Yang masih hangat adalah fatwa tentang kegiatan usaha tambang. Dalam fatwa nomor 22 tahun 2011 itu dinyatakan bahwa kegiatan pertambangan boleh dilakukan sepanjang untuk kemaslahatan umat, tidak mendatangkan kerusakan, dan ramah lingkungan.
      
Konon, fatwa tersebut dikeluarkan sebagai respons sekaligus wujud keprihatinan MUI atas kondisi lingkungan alam kita yang rusak parah. Kerusakan itu terutama akibat kegiatan pertambangan yang tidak mengindahkan persyaratan teknis sekaligus mengabaikan tuntutan etis dan moral tentang pengelolaan sumberdaya alam.
      
Fatwa itu jelas oke. Oke, karena fatwa itu melindungi kepentingan umat: bahwa kegiatan pertambangan tidak boleh sampai merugikan secara ekonomi maupun fisik lingkungan. Fatwa itu juga oke karena sejalan dengan kampanye pertambangan ramah lingkungan (green mining) alias tidak menimbulkan kerusakan sehingga menyengsarakan masyarakat luas. Bukankah, memang, kegiatan pertambangan di negeri kita selama ini cenderung brutal sehingga mengancam kelestarian lingkungan sekaligus menafikan kemaslahatan khalayak?
      
Tetapi kenapa muncul kecurigaan atau bahkan sinisme bahwa itu adalah fatwa pesanan? Kenapa orang tidak yakin bahwa fatwa itu sepenuhnya objektif melindungi kepentingan masyarakat luas? Kenapa orang tidak percaya bahwa fatwa itu mengusung kemaslahatan umat?
      
Sebenarnya kecurigaan dan sinisme masyarakat terhadap fatwa MUI ini bukan baru sekarang saja. Acapkali sikap-sikap seperti itu muncul seiring peluncuran fatwa-fatwa MUI. Kenapa?
      
Boleh jadi, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti itu antara lain karena MUI kelewat sering mengeluarkan fatwa. Dalam ungkapan lugas: karena fatwa sudah mengalami inflasi!
      
Nah, karena kelewat sering mengeluarkan fatwa, orang pun beroleh kesan bahwa MUI tidak cukup selektif dan tak jeli dalam mengeluarkan fatwa. Karena tidak selektif, isu-isu yang tidak urgen pun -- lantaran sudah terang-benderang kedudukan syariatnya di mata umat -- menjadi objek fatwa. Misalnya fatwa tentang pornografi dan pornoaksi. Tanpa fatwa MUI pun umat sudah bisa menilai sendiri bahwa pornografi dan pornoaksi tidak patut secara moral -- dan karena itu secara syariat pun sulit bisa diterima.
      
Sinisme masyarakat kian kental manakala fatwa MUI ternyata tidak efektif karena umat tidak menggubrisnya. Seolah-olah fatwa MUI sekadar angin lalu di tengah arus gejala sosial di masyarakat.
      
Jadi, sinisme masyarakat terhadap fatwa MUI ini tak bisa disalahkan. Bahkan MUI layak menjadikan itu sebagai cambuk untuk menata diri menyangkut peran mereka di tengah masyarakat, khususnya umat Islam.
      
Dalam konteks itu, MUI sepatutnya menahan diri agar tidak sering gatal mengeluarkan fatwa. MUI tak boleh mudah tergoda menanggapi fenomena-fenomena sosial yang berkembang dengan meluncurkan fatwa. Terlebih kalau itu sekadar menanggapi pesanan pihak tertentu -- betapapun baiknya motif di balik pesanan itu.
      
Memang, MUI sebagai sumber rujukan berkewajiban memberikan pedoman hukum syariat kepada umat berupa fatwa. Tetapi jika itu dilakukan kurang selektif -- apalagi bila sarat muatan sponsor -- maka fatwa niscaya mengalami inflasi. Sebagai fenomena inflasi, fatwa-fatwa itu bisa mubazir karena tidak benar-benar dimanfaatkan umat sebagai pedoman dalam bersikap.
      
Karena itu, MUI hendaknya merumuskan fatwa benar-benar sebagai jawaban atas keresahan umat semata akibat ketiadaan pedoman syariat di tengah arus fenomena sosial yang berkembang di masyarakat. Fatwa MUI tidak boleh masuk domain pemerintah -- terlebih kalau kegelisahan umat tak lain karena hukum positif gagal ditegakkan.***

Jakarta, 27 Juli 2011