30 Maret 2008

Ekspor Beras, Apa Perlu?

Rencana ekspor beras mestinya membanggakan. Rencana itu merupakan petunjuk bahwa produksi beras di dalam negeri berlebih alias surplus. Ini membanggakan karena produksi beras kita selama ini tidak selalu elok. Sekadar untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di dalam negeri saja, produksi beras kita acap kedodoran, sehingga kran impor terpaksa dibuka lebar-lebar. Jadi sungguh prestasi istimewa kalau produksi beras kita sekarang ini melampaui kebutuhan nasional sekaligus membuka peluang ekspor.

Wacana tentang ekspor sendiri serta-merta menerbitkan harapan berbunga-bunga. Ini karena harga beras di pasar internasional sekarang ini menjulang tinggi. Dibanding tahun lalu, harga beras di pasar ekspor kini berlipat. Karena itu, rencana ekspor beras sungguh menjanjikan keuntungan besar.

Tapi rencana itu justru terasa mengkhawatirkan. Kita khawatir ekspor beras ternyata menjadi bumerang yang menyengsarakan kita di belakang hari. Bagaimanapun, ekspor bisa berpengaruh terhadap cadangan beras nasional. Terlebih jika ekspor dilakukan jor-joran -- sesuatu yang bukan tidak mungkin terjadi jika mengingat tingkat harga yang kini amat menggiurkan -- cadangan beras nasional jelas dipertaruhkan. Cadangan beras nasional bisa terkuras. Ini sungguh rentan karena bisa berdampak menggoyahkan ketahanan pangan di dalam negeri.

Tentang itu, kasus minyak sawit mentah (CPO) gamblang memberi pelajaran amat berharga. Ekspor CPO terbukti malah berdampak menyengsarakan rakyat kebanyakan. Ekspor CPO hanya menguntungkan kalangan produsen dan pedagang. Sementara masyarakat luas di dalam negeri justru kesulitan memperoleh minyak goreng dengan harga relatif terjangkau. Ini sungguh ironi karena negeri kita merupakan produsen terbesar kedua CPO di dunia.

Risiko serupa bisa terjadi pula bila kran ekspor beras sekarang ini dibuka dengan dalih bahwa produksi beras di dalam negeri sekarang berlebih. Padahal soal kelebihan produksi itu masih bersifat teori atau proyeksi. Kelebihan produksi beras kita belum benar-benar merupakan kondisi riil. Baru sekadar perhitungan di atas kertas berdasarkan sejumlah variabel tertentu. Antara lain faktor musim yang diasumsikan relatif kondusif. Padahal, fakta di lapangan menunjukkan bahwa di sejumlah daerah -- termasuk di daerah lumbung beras -- faktor musim ini justru memukul produksi beras. Terutama hujan yang mengakibatkan bencana banjir, faktor musim ini membuat sekian luas areal tanaman padi mengalami rusak atau bahkan puso.

Karena itu pula, boleh jadi tahun ini produksi beras kita tidak termasuk gilang-gemilang. Bahkan bukan tidak mungkin produksi beras nasional ini justru desifit alias di bawah kebutuhan konsumsi. Karena itu, beberapa bulan mendatang jangan-jangan terkuak kenyataan bahwa kita ternyata harus impor beras lagi.

Jadi, kalau dilakukan tanpa melihat lebih dulu kondisi riil volume produksi beras di dalam negeri, langkah ekspor beras bisa menjadi konyol. Namun kalaupun benar produksi beras nasional berlebih, tidakkah lebih strategis jika itu dimanfaatkan untuk mengamankan cadangan beras nasional? Ini amat strategis, pertama, karena penawaran beras di pasar internasional kini relatif sedikit akibat sejumlah negara produsen utama mengalami gagal panen. Kedua, karena beras -- seperti juga komoditas pangan yang lain -- kini sudah menjadi produk alternatif transaksi derivatif.

Artinya, harga beras secara global sekarang ini cenderung terkondisi menapak di level tinggi. Karena itu, cadangan beras nasional harus benar-benar diamankan agar kita tak terjebak oleh kemelut harga global. Risiko itu sendiri bisa dihindari hanya jika produksi beras di dalam negeri benar-benar surplus, dan kran ekspor komoditas tersebut tidak dibuka.

Jadi, apa perlu ekspor beras? Terlebih lagi hampir pasti ekspor hanya menguntungkan pedagang!***
Jakarta, 30 Maret 2008

Tidak ada komentar: