25 Maret 2008

Defisit Membengkak

Defisit anggaran membengkak. Dalam APBN 2008, angka defisit ini dipatok 1,7 persen produk domestik bruto (PDB). Sementara dalam RAPBN Perubahan 2008, yang sudah disepakati pemerintah dan Panitia Anggaran DPR, angka defisit ini membengkak menjadi 2,1 persen. Dalam angka nominal, defisit tersebut melonjak dari Rp 73,3 triliun menjadi Rp 88,1 triliun.

Pembengkakan defisit anggaran memang sulit dihindari. Sejumlah faktor, yang boleh dikatakan di luar kendali pemerintah (out of control), terlampau kuat menekan ke arah itu. Faktor tersebut terutama gejolak harga minyak dan komoditas pangan di pasar internasional. Juga kelesuan ekonomi global, menyusul krisis keuangan yang melanda AS.

Angka defisit itu sendiri termasuk konservatif. Menimbang kuatnya tekanan beberapa faktor tadi, mestinya defisit anggaran ini melampaui Rp 100 triliun. Bahkan menurut hitungan kasar, pembengkakan defisit ini sebenarnya bisa mencapai 4,2 persen PDB.

Karena itu, kita melihat pemerintah sudah menunjukkan keinginan untuk menekan pembengkakan defisit anggaran agar tidak kelewat besar. Kita tahu, keinginan tersebut terutama disiasati lewat langkah-langkah penghematan. Alokasi anggaran tiap departemen, misalnya, dipangkas 15 persen. Dalam konteks itu, belanja barang pemerintah yang tak kelewat perlu alias tak urgen -- semisal pengadaan kendaraan atau pembangunan gedung -- dicoret. Biaya perjalanan pejabat juga dikurangi drastis.

Strategi penghematan seperti itu jelas patut kita hargai. Namun patut diakui juga bahwa fostur anggaran tak lantas sudah benar-benar sehat. Sebab, meski angka defisit diperas menjadi Rp 88,1 triliun, anggaran tetap masih kurang bersifat produktif. Ini karena sisi belanja masih cenderung didominasi pengeluaran yang bersifat konsumtif berupa subsidi. Bahkan dibanding dalam APBN 2008, beban subsidi pada RAPBN Perubahan membengkak luar biasa. Subsidi bahan bakar minyak (BBM), misalnya, membengkak dari 45,8 triliun menjadi di atas Rp 100 triliun. Subsidi listrik juga melonjak dari Rp 29,8 menjadi 42,6 triliun. Sementara subsidi pangan dalam rangka stabilisasi harga membengkak dari Rp 7,2 triliun menjadi hampir Rp 20 triliun lebih.

Itu bisa terjadi karena pemerintah tidak punya keinginan politik untuk menekan beban subsidi. Pembengkakan subsidi pangan hingga mencapai Rp 20 triliun mungkin amat sulit dihindari. Maklum karena soal pangan langsung bersangkutan dengan masalah perut rakyat kebanyakan. Urusan perut, memang, sulit dikompromikan karena teramat sensitif menimbulkan gejolak sosial.

Lain dengan subsidi listrik dan subsidi BBM. Mestinya subsidi BBM maupun subsidi listrik bisa ditekan secara signifikan. Subsidi BBM amat mungkin bisa ditekan dengan menaikkan harga BBM bersubsidi maupun tarif listrik. Opsi tersebut lebih rasional ketimbang menerapkan mekanisme
yang terkesan ruwet dan belum teruji efektif, seumpama pembatasan pemakaian BBM bersubsidi melalui penerapan kartu pintar sebagaimana rencana pemerintah.

Tapi tampaknya pemerintah tak siap menanggung ongkos politik terkait penekanan beban subsidi BBM dan subsidi listrik ini. Boleh jadi benar, pemerintah terperangkap oleh pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang telanjur menjamin tak menaikkan lagi harga BBM. Pemerintah terkesan sadar betul, jika janji itu diabaikan, rakyat bisa menghukum SBY saat pemilu nanti.

Maka, begitulah, beban subsidi pun membengkak sangat signifikan. Eloknya, konon, beban subsidi ini akan disiasati terutama lewat pembiayaan pinjaman. Ini bukan solusi elegan karena mestinya masih bisa ditempuh alternatif lain yang lebih menantang: menggenjot pemerimaan pajak maupun nonpajak seperti setoran dividen BUMN. Alternatif tersebut lebih elegan karena menyaratkan kerja keras!***
Jakarta, 25 Maret 2008

Tidak ada komentar: