17 Maret 2008

Buramnya Dunia Penerbangan

Ibarat cermin, dunia penerbangan nasional masih saja buram. Kasus-kasus kecelakaan terus saja terjadi. Bahkan kasus-kasus tersebut cenderung terjadi dalam rentang waktu yang makin sempit. Awal pekan lalu, misalnya, pesawat AdamAir tergelincir saat mendarat di Bandara Hang Nadim, Batam. Sehari kemudian, menyusul pesawat helikopter milik TNI-AU jatuh di Subang, Jabar.

Dua hari setelah itu, giliran pesawat Garuda Indonesia mengalami pecah ban saat mendarat di Bandara Juanda, Surabaya, Jatim. Lalu, seolah menjadi pelengkap, kemarin giliran pesawat swayasa jatuh di Pamulang, Depok, Jabar. Di luar kasus-kasus yang masih aktual itu, sederet kasus lain praktis telah menjadi cacatan hitam dunia penerbangan kita.

Memang, tidak semua kasus kecelakaan penerbangan menelan korban jiwa. Tapi tetap saja kasus-kasus itu menorehkan kesan bahwa dunia penerbangan kita tidak aman.

Betul, kecelakaan dalam dunia penerbangan bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Kecelakaan itu tidak selalu di negara yang tidak memiliki regulasi bagus. Juga tidak selalu terjadi di negara yang memiliki banyak maskapai penerbangan berkinerja kurang elok. Tetapi bila kecelakaan demi kecelakaan terus terjadi, jelas itu pertanda sesuatu tidak beres. Kecelakaan-kecelakaan itu bukan lagi sekadar akibat kesalahan teknis, human error, ataupun karena faktor cuaca yang tidak bersahabat. Kecelakaan-kecelakaan itu lebih merupakan pertanda bahwa dunia penerbangan kita digayuti persoalan mendasar. Ibarat gunung es, persoalan itu jauh lebih besar dan lebih serius ketimbang sekadar kasus-kasus kecelakaan yang mencuat ke permukaan.

Artinya, masalah yang menggayuti dunia penerbangan kita ini bukan hanya terletak di unit-unit maskapai. Masalah itu
lebih menyangkut aspek kebijakan dan regulasi yang tidak
efektif menumbuhkan kultur industri penerbangan yang sehat, nyaman, aman, tangguh, dan tepercaya.

Boleh jadi, konsep kebijakan maupun regulasi kita industri penerbangan ini sebenarnya sudah bagus. Tapi dalam tahap implementasi, kebijakan maupun regulasi itu mengalami banyak deviasi karena berbagai alasan yang biasanya subjektif. Sebut saja aspek pengawasan atau pengujian kelaikan pesawat mengudara mungkin tidak konsisten diterapkan. Pengawasan ketat tanpa kompromi cenderung diterapkan sekadar sebagai kegiatan public relations yang bersifat temporer. Manakala sasaran public relations sudah tercapai, kegiatan pengawasan dan pengujian kelaikan pesawat praktis kendor. Lebih berbahaya lagi, tentu, kalau saja pengawasan dan pengujian ini bisa dikompromikan.

Karena itu, dunia penerbangan kita pun tetap saja bopeng-bopeng. Kasus-kasus kecelakaan penerbangan, terutama, terus saja terjadi.

Karena itu, jangan salahkan keputusan Uni Eropa melarang semua maskapai penerbangan nasional memasuki wilayah udara mereka sejak pertengahan tahun lalu. Juga tak perlu kecewa menghadapi kenyataan bahwa Uni Eropa belum juga tergerak mencabut larangan itu, meski pemerintah kita sudah berupaya melobi mereka. Bahkan sama sekali tak beralasan kita mencak-mencak karena ternyata Uni Eropa justru memasukkan semua maskapai penerbangan kita ke daftar hitam mereka. Entah sampai kapan.

Keselamatan penerbangan sebenarnya bukan masalah yang bisa diselesaikan sekadar lewat lobi. Masalah tersebut juga tidak bisa sekadar menjadi good will ataupun komitmen. Keselamatan penerbangan adalah masalah yang mesti teruji secara eksak dan transparan. Selama parameter-parameter tentang keselamatan penerbangan ini tak teruji dan konsisten, jangan bermimpi dunia internasional bisa yakin dan percaya bahwa dunia penerbangan kita tidak berisiko besar.

Jadi, kapan cermin buram dunia penerbangan kita ini berakhir?***
Jakarta, 17 Maret 2008

Tidak ada komentar: