10 Maret 2008

Pesangon Cuma Pelipur Lara

Pesangon mestinya bukan sekadar merupakan kompensasi atas tindak pemutusan hubungan kerja (PHK). Pesangon seharusnya merupakan semacam jaring pengaman sosial. Dengan demikian, korban PHK tak lantas menjadi sengsara. Dengan pesangon yang berfungsi sebagai jaring pengaman sosial, mereka terjamin tetap memperoleh penghasilan sampai mendapatkan kembali pekerjaan.

Konsepsi pesangon sekadar sebagai kompensasi atas risiko terkena PHK sebenarnya tak berfungsi optimal melindungi pekerja. Pertama, karena nilai nominal pesangon bersifat relatif. Kedua, karena di tengah keterbatasan kesempatan kerja di negeri kita sekarang ini, korban PHK sama sekali tak terjamin segera memperoleh pekerjaan baru.

Jadi, secara nominal nilai pesangon yang diterima seorang pekerja korban PHK mungkin terbilang besar. Tapi dibanding kebutuhannya untuk menghidupi keluarga, nilai itu bisa menjadi tak mencukupi. Terlebih bila dia tak segera memperoleh kembali pekerjaan, dalam waktu relatif singkat jumlah pesangon bisa segera habis. Setelah itu, hanya kesengsaraan yang harus diderita korban PHK ini. Pesangon benar-benar sekadar menjadi pelipur lara atas nasib malang terkena PHK.

Karena itu, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Dana Cadangan Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja -- akrab dikenal sebagai RPP Pesangon -- mestinya kental bersemangat propekerja tanpa menafikan kepentingan pengusaha. Artinya, ketentuan-ketentuan yang digariskan mesti benar-benar mampu menjamin pekerja korban PHK tidak terjerembab ke lembah yang menyengsarakan. Sementara bagi pengusaha, tindakan PHK juga tidak menjadi sumber yang menguras banyak pengeluaran. Dengan demikian, PHK tak lagi menjadi momok bagi kaum pekerja maupun pihak pengusaha.

Memang tidak mudah merumuskan konsepsi seperti itu. Tapi, tentu, bukan tidak bisa dirumuskan. Contoh atau rujukan tak terlampau sulit diperoleh. Sejumlah negara, terutama di belahan Eropa, menerapkan konsepsi PHK yang layak dikaji atau bahkan mungkin ditiru.

Semangat ke arah itu menjadi relevan karena belakangan ini isu tentang RPP Pesangon belakangan ini kembali mencuat, setelah sekian lama tenggelam oleh hiruk-pikuk banyak isu lain. Dalam konteks ini pula, kita mendukung sikap gigih yang ditunjukkan kalangan organisasi pekerja menentang ketentuan-ketentuan yang bisa menyengsarakan pekerja korban PHK.

Menurut kabar yang beredar, pihak pekerja bisa menyetujui RPP Pesangon jika tiga syarat dipenuhi. Pertama, pasal
faktor pengali jumlah pesangon sebesar lima persen nilai pendapatan tidak kena pajak (PTKP) dihapuskan alias tak menjadi ketentuan pesangon. Kedua, pasal premi dana cadangan pesangon harus di atas tiga persen dari gaji bulanan yang diterima pekerja. Ketiga, pasal lembaga pengelola dana cadangan pesangon tidak merupakan badan atau unit yang berada di dalam lingkungan perusahaan.

Kita sepakat, tiga pasal krusial itu harus bia gol diperjuangkan. Sebab, memang, ketiga pasal itu amat mendasar bagi konsepsi pengaturan pesangon yang bersifat fair dan tidak sekadar menjadi kompensasi atas risiko terkena PHK. Jika pasal faktor pengali jumlah pesangon sebesar lima persen PTKP sampai menjadi ketentuan hukum, misalnya, maka PP Pesangon kelak sungguh-sungguh tidak adil dan berbau diskriminatif: hanya mengakomodasi kepentingan pekerja lapisan bawah, sementara kepentingan pekerja laporan menengah atas sama sekali tak memperoleh jaminan kepastian secara hukum terkait risiko PHK.

Karena itu, jajaran organisasi pekerja hendaknya jangan mengambil langkah surut dalam merundingkan masalah RPP Pesangon ini. Kompromi mungkin perlu. Tapi kompromi jangan dimaknai sebagai memberi terlalu banyak sekaligus melupakan substansi perjuangan. Intinya, ketentuan tentang pesangon ini jangan sampai tergelincir menjadi sekadar pelipur lara, apalagi cuma pepesan kosong!***
Jakarta, 10 Maret 2008

Tidak ada komentar: