03 Januari 2008

Tembus 100 Dolar AS

Harga minyak mentah di pasar dunia akhirnya menembus 100 dolar AS per barel. Ini bukan hanya menjadi rekor baru dalam sejarah perdagangan minyak dunia, melainkan juga secara psikologis terasa menghentak. Betapa tidak, karena apa yang dulu kita anggap musykil ternyata menjadi kenyataan.

Memang, paling tidak hingga awal tahun lalu, kita masih tak merasa yakin bahwa harga minyak mentah di pasar dunia bisa mencapai level 100 dolar AS. Bahkan kalau kita tarik beberapa tahun ke belakang, kemungkinan bahwa itu benar-benar menjadi kenyataan sungguh terasa musykil.

Karena itu pula, banyak pihak setengah mencibir terhadap prediksi yang menyebutkan bahwa harga minyak potensial membubung hingga menembus 100 dolar AS.

Kala itu, dengan posisi harga minyak di level 30-an dolar AS, kita menilai prediksi itu sungguh tidak masuk akal. Itu karena level 100 dolar mengandung arti bahwa harga minyak berlipat tiga kali lebih. Kelipatan tersebut terasa tak masuk akal alias musykil bisa terjadi. Kita berkeyakinan, kala itu, level 100 dolar AS baru mungkin tercapai sepuluh atau dua puluh tahun lagi.

Bahwa harga minyak dunia cenderung terus naik, sejak awal sebenarnya sudah kita sadari. Paling tidak karena faktor geopolitik terus menekan, sementara Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) sudah tak solid lagi dalam menjaga stabilisasi harga. Tapi kita tak pernah yakin bahwa hanya dalam tempo beberapa tahun harga minyak dunia bisa melejit sampai menembus 100 dolar AS.

Kenyataan itu menunjukkan bahwa banyak faktor luput diperhitungkan. Kalaupun beberapa faktor pemicu dan pemacu harga minyak ini bisa dikenali, kondisi pasar tetap sulit dikendalikan. Harga minyak terus saja bergerak naik tak terbendung.

Dalam kondisi seperti itu, pemerintah kita sendiri terkesan gamang. Pemerintah amat kelihatan ragu sekaligus takut menggariskan langkah antisipasi maupun kebijakan penyesuaian. Tak terkecuali sekarang ini setelah harga minyak menembus 100 dolar AS. Seperti kata Menkeu Sri Mulyani, pemerintah belum bisa menetapkan antisipasi jangka panjang.
Pemerintah merasa perlu memantau pergerakan lebih jauh. Pemerintah tak ingin menggariskan respons kebijakan berdasarkan pergerakan harga yang bersifat harian. Bagi pemerintah, garis kebijakan penyesuaian mesti berpijak pada pergerakan harga yang sudah jelas terpola.

Sekilas pendirian itu bisa diterima. Sebab, memang, pergerakan harga minyak ini masih fluktuatif. Artinya, level 100 dolar AS belum tentu permanen. Besok atau lusa mungkin saja harga minyak kembali terseret ke level di bawah 100 dolar AS.

Namun pendirian pemerintah ini -- tak hendak buru-buru merespons perkembangan dengan menggariskan respons kebijakan -- lebih menunjukkan sikap gamang. Itu semakin mengentalkan kesan bahwa pemerintah enggan menempuh langkah-langkah penyesuaian, meski secara ekonomi maupun politik layak diterapkan. Mengapa?

Tak sulit diterka. Langkah atau kebijakan apa pun yang dilakukan pemerintah dalam merespons harga minyak ini jelas akan terasa pahit. Itu berarti pemerintah harus siap tidak populer.

Tampaknya risiko itu yang ingin dihindari pemerintah. Sebab, memang, risiko tidak populer bisa melahirkan hukuman secara politik. Dalam pesta demokrasi mendatang, rakyat bisa berpaling ke lain hati.

Tapi benarkah risiko itu begitu niscaya? Belum tentu juga. Sepanjang pintar-pintar memberi penjelasan, rakyat bisa diharapkan dapat menerima langkah-langkah penyesuaian yang ditempuh pemerintah sebagai respons terhadap masalah harga minyak ini. Yang penting, langkah-langkah penyesuaian itu disertai jaring pengaman yang membuat rakyat tidak merasa dizalimi.

Jadi, kenapa mesti gamang? Terlebih lagi, tidakkah perkembangan harga minyak hingga menembus 100 dolar AS sekarang ini sudah memperlihatkan pola yang jelas?***
Jakarta, 3 Januari 2008

Tidak ada komentar: