06 Januari 2008

Memberi Maaf Pak Harto

Memberi maaf adalah tindakan mulia tapi sungguh tidak mudah dilakukan. Dikatakan tindakan mulia, karena memberi maaf mengandung konsekuensi etis dan sekaligus psikologis: bersedia melupakan kesalahan dan kekelaman yang diakibatkan pihak lain. Juga bersedia mengubur duka dan luka di dalam dada.

Memberi maaf juga menuntut kesediaan menghapus dendam, mengubur kesumat. Segala kebencian, sakit hati, juga nafsu melakukan "perhitungan" mesti luruh dan pupus seketika tanpa sisa manakala maaf telah diberikan.

Tapi justru itu, memberi maaf sungguh tidak mudah. Terlebih menyangkut tokoh sekaliber mantan Presiden Soeharto. Memberi maaf kepada Pak Harto, bagi pihak-pihak tertentu, benar-benar bukan perkara gampang. Bahkan ketika kondisi Pak Harto sendiri sekarang ini sudah benar-benar tak berdaya akibat didera sakit.

Bagi mereka yang telanjur merasa menjadi korban kebijakan pemerintahan Pak Harto, duka memang belum juga sirna. Luka masih saja menganga. Bahkan dendam juga terus membara. Karena itu, bagi mereka, memberi maaf kepada Pak Harto bukan saja sulit, tapi juga mungkin menyakitkan.

Meski begitu, memberi maaf kepada Pak Harto tetap perlu. Memberi maaf kepada Pak Harto bahkan terasa menjadi kebutuhan. Sebab, sebagai bangsa, kita mesti bisa menapaki masa depan tanpa dibebani luka ataupun cacat sejarah. Kita mesti mengambil pelajaran dari sejumlah kasus tokoh dunia. Misalkan kasus mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos yang tak hanya meninggalkan masalah hukum sangat kompleks, melainkan juga mati mengenaskan di pengasingan.

Kita sungguh tak berharap cacat sejarah seperti itu menimpa kita terkait kasus Pak Harto. Untuk itu, status Pak Harto jangan sampai terus digantung oleh persoalan hukum yang membelitnya. Kita dituntut berjiwa besar melupakan kesalahan Pak Harto ketika berkuasa.

Kita mesti arif memupus duka dan luka yang tersisa. Kita mesti mengubur dalam-dalam dendam kesumat, betapa pun itu terasa berat dan menyakitkan. Terlebih lagi, jasa Pak Harto terhadap kehidupan kebangsaan kita juga nyaris tak terbilang.

Di sisi lain, jiwa besar dan kearifan kita memberi maaf kepada Pak Harto juga bisa menjadi bekal berharga untuk menyongsong masa depan kita sebagai bangsa. Sulit membayangkan kita bisa mulus atau bahkan gilang-gemilang menyongsong masa depan jika luka sejarah tak pernah sirna, jika dendam di antara kita tetap saja membara.

Dengan kata lain, membiarkan luka tetap menganga, memelihara dendam tetap membara, bukan saja tidak produktif, melainkan juga sungguh berbahaya. Berbahaya, karena balas dendam senantiasa melahirkan dendam sehingga kita tidak akan pernah dewasa sebagai sebuah bangsa.

Kita juga sulit bisa mencapai kemajuan dan menyejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain yang sudah melangkah di muka. Sebab energi kebangsaan kita niscaya terkuras oleh sikap dan tindakan saling balas dendam. Selebihnya, kita terkondisi menjadi bangsa kerdil. Bangsa yang tak punya cukup harga di forum pergaulan antarbangsa.

Kearifan kita memberi maaf kepada Pak Harto juga terasa menjadi kebutuhan untuk mengisi dan memaknai momentum Seratus Tahun Kebangkitan Nasional pada tahun ini. Dengan memberi maaf kepada Pak Harto, kita bisa memaknai Seratus Tahun Kebangkitan Nasional sebagai momentum Kebangkitan Nasional Kedua.

Itu tidak terasa muluk ataupun mengada-ada. Kita amat membutuhkan Kebangkitan Nasional Kedua setelah selama ini, terutama di era reformasi, banyak energi terbuang percuma untuk hal-hal yang tidak produktif atau bahkan tidak perlu.

Jadi, memberi maaf Pak Harto bukan hanya secara etis menjadi kebutuhan, melainkan juga merupakan momentum untuk memaknai Seratus Tahun Kebangkitan Nasional menuju Kebangkitan Nasional Kedua.***
Jakarta, 6 Januari 2008