10 Januari 2008

Swasembada Cuma Ilusi

Beginilah kalau kita telanjur terlena terhadap impor. Manakala harga kedelai di dalam negeri melonjak gila-gilaan, bea masuk pun lantas menjadi pilihan. Tarif bea masuk diutak-atik: diturunkan menjadi nol persen.

Mungkin benar itu pilihan strategis. Tapi pilihan tersebut sulit diharapkan menjadi solusi mujarab. Harga kedelai di pasar lokal memang bakal serta-merta terdorong turun dari posisi terakhir di level Rp 6.600 per kilogram.

Namun penurunan itu amat sulit bisa signifikan. Setelah bea masuk diturunkan menjadi nol persen, harga kedelai hampir pasti tetap relatif tinggi. Bahkan jauh di atas posisi sebelum bergejolak, akhir tahun 2006 silam, yang berkisar Rp 3.400 per kilogram. Menurut perkiraan, pascapenghapusan bea masuk ini harga kedelai di dalam negeri bisa turun menjadi berkisar Rp 5.900-an per kilogram.

Bea masuk nol persen tak ampuh mendorong harga kedelai turun signifikan, karena harga komoditas tersebut di pasar dunia belakangan ini juga melonjak hebat. Pertama, karena panen di negara-negara produsen tahun lalu gagal sehingga produksi kedelai dunia pun anjlok drastis.

Kedua, karena permintaan juga melonjak gila-gilaan seiring gerakan konversi bahan bakar fosil ke biofuel di negara-negara maju. Dalam konteks ini, kedelai tersedot sebagai komoditas substitusi jagung yang kini banyak digunakan untuk memproduksi ethanol.

Melihat kenyataan itu pula, boleh jadi harga kedelai di pasar dunia akan tetap tinggi. Itu berarti, di dalam negeri pun harga komoditas tersebut tetap menjulang pula. justru itu, penurunan bea masuk menjadi nol persen pun sekedar berdampak sedikit mengurangi tekanan.

Dalam kondisi seperti itu, jelas kehidupan industri kecil yang selama ini memproduksi tahu, tempe, kecap, tauco, serta susu kedelai pun menjadi taruhan. Prospek industri tersebut sulit dikatakan tidak buram. Harga bahan baku kedelai yang menjulang tinggi membuat produksi mereka tak cukup efisien lagi. Produk mereka menjadi mahal.

Padahal daya beli masyarakat di dalam negeri telanjur babak-belur. Penurunan skala produksi atau bahkan gulung tikar, sebagaimana belakangan ini sudah menggejala, sungguh menjadi pilihan yang sulit dihindari.

Kenyataan itu tak harus terjadi kalau saja kita serius meningkatkan produksi kedelai di dalam negeri. Terlebih kebutuhan akan kedelai ini terus menanjak. Data menunjukkan, pada awal Pelita I konsumsi kedelai kita rata-rata hanya 3,4 koilogram per kapita. Sekarang ini angka tersebut sudah mencapai 13,4 kilogram per kapita.

Dengan tingkat konsumsi seperti itu, kebutuhan akan kedelai kini sekitar 2 juta ton per tahun. Kebutuhan tersebut hanya mempu dicukup produksi di dalam negeri sebanyak 20 persen. Selebihnya praktis diandalkan pada impor.

Celakanya, kita terlena. Kita tak sungguh-sungguh berupaya melepaskan ketergantungan terhadap impor kedelai ini. Program swasembada kedelai yang bahkan dicanangkan pemerintah sejak tahun 1990-an tak pernah kunjung mampu melepas ketergantungan itu.

Kenapa? Karena swassembada tak pernah dijabarkan sebagai program yang benar-benar fokus dan konsisten dilaksanakan. Terlebih setelah reformasi pemerintahan berulang kali berganti, kesinambungan program tersebut tak benar-benar terjaga.

Karena itu, program swasembada kedelai sekadar menjadi target yang tak kunjung bisa tercapai. Program tersebut akhirnya terus menggantung di langit tinggi. Ironinya, itu tak menjadi sesuatu yang menggusarkan. Sekali lagi, karena selama ini impor bisa menutup kebutuhan.

Kenyataan itu sungguh melengkapi ironi kita dalam persoalan pangan. Selain kedelai, kebutuhan kita akan beras, gula, gandum, jagung, juga daging amat bergantung pada impor. Itu menjadi ironi karena semestinya kita bisa mencukupi kebutuhan akan komoditas-komoditas tersebut lewat produksi di dalam negeri. Toh potensi ke arah itu demikian nyata terbentang.

Tapi kita seperti menyia-nyiakan potensi itu. Karena program swasembada pangan terus kita gantung di langit tinggi. Karena impor telanjur melenakan.***
Jakarta, 10 Januari 2008

Tidak ada komentar: