20 Januari 2008

Grand Design RI-Jepang

Peringatan lima puluh tahun hubungan diplomatik Indonesia-Jepang, yang resmi dimulai (kick-off) kemarin di Jakarta, mestinya tidak berhenti sekadar menjadi ajang seremoni dan basa-basi politik. Seakan-akan hubungan kedua negara selama ini sama sekali tanpa masalah. Seakan-akan interaksi kedua negara sudah sesuai harapan, yaitu saling memberi manfaat secara imbang dan proporsional.

Kita setuju, ke depan ini hubungan Indonesia-Jepang mesti lebih baik, lebih meningkat, dan lebih luas. Tapi itu amat normatif. Hubungan Indonesia-Jepang yang lebih baik, lebih meningkat, dan lebih luas tak boleh sekadar menjadi harapan. Sekadar mimpi. Sekadar angan-angan.

Semua harapan, mimpi, ataupun angan-angan mengenai hubungan Indonesia-Jepang ke depan ini mestinya dijabarkan dalam sebuah grand design dan grand strategy. Semua dirumuskan rinci dengan cakupan dan tahapan-tahapan waktu pencapaian yang digariskan secara jelas.

Dengan demikian, kita memiliki pegangan pasti mengenai arah dan sasaran kita dalam berhubungan dengan Jepang ini. Kita juga jadi punya gambaran jelas tentang manfaat-manfaat yang bisa kita nikmati dalam hubungan itu.

Terus-terang, dalam menapaki hubungan Indonesia-Jepang selama ini, kita seolah berjalan tanpa arah dan sasaran yang sudah dirancang secara matang. Semua interaksi yang terjadi, terutama di bidang ekonomi, cenderung alamiah. Tidak berpijak pada sebuah grand design dan grand strategy.

Mungkin karena itu, selama ini hubungan kita dengan Jepang secara kuantitatif maupun kualitatif tidak imbang. Kita relatif sedikit menikmati manfaat dibanding apa yang diperoleh Jepang. Memang betul, Jepang selama ini memberi kontribusi besar terhadap kegiatan investasi di negeri kita -- meski belakangan menurun.

Tetapi Jepang cenderung memperlakukan kita sekadar sebagai tempat merakit produk-produk mereka. Kita tak memperoleh transfer teknologi yang memungkinkan kita bisa menikmati nilai tambah sekaligus menggali lebih jauh rekayasa teknologi. Karena itu kita tak kunjung mampu membuat sendiri produk otomotif seperti Malaysia, misalnya.

Menyedihkan sekaligus menyakitkan, memang. Sampai-sampai tak kurang dari Wapres Jusuf Kalla sempat menggugat kenyataan tersebut. Saat berkunjung ke Jepang, awal 2006 silam, Wapres menyatakan bahwa selama ini berbagai bantuan proyek Jepang ke Indonesia, alih-alih melahirkan manfaat ekonomis, pada akhirnya malah banyak menjadi beban keuangan kita. Sebaliknya, bagi Jepang, kucuran bantuan itu justru menjadi sumber keuntungan ekonomi yang amat besar.

Nah, dalam menapaki hubungan Indonesia-Jepang ke depan ini, kita tak boleh terus larut dalam pola yang membuat kita lebih banyak memberi ketimbang menerima. Untuk itu, peringatan lima puluh tahun hubungan Indonesia-Jepang mesti dijadikan momentum emas. Peringatan tersebut mesti dijadikan titik tolak kita merevitalisasi hubungan kedua negara ke arah situasi dan kondisi yang saling memberi manfaat secara proporsional dan berimbang.

Itu jangan sekadar meliputi bidang politik dan ekonomi, melainkan mesti lebih luas. Di bidang budaya, misalnya, selama ini hubungan kedua negara relatif belum memberi makna secara timbal balik.

Padahal, terutama bagi kita, hubungan budaya kedua bangsa dan negara amat menjanjikan manfaat. Banyak nilai budaya Jepang bisa kita petik lewat hubungan kedua bangsa. Kita bisa menyerap disiplin, etos kerja, jujur, kreatif, atau budaya malu yang sudah terbukti menjadi modal dasar bangsa dan negara Jepang sehingga mereka mampu tampil sebagai kekuatan yang amat diperhitungkan dalam percaturan global.

Berbagai kegiatan yang disiapkan untuk mengisi peringatan lima puluh tahun hubungan Indonesia-Jepang bisa menjadi rintisan bagus ke arah hubungan Indonesia-Jepang yang tidak sekadar dalam bingkai politik dan ekonomi ini. Tetapi, sekali lagi, sebuah grand design dan grand strategy tentang hubungan kedua negara setelah lima puluh tahun tetap diperlukan. Adakah?***
Jakarta, 20 Januari 2008

Tidak ada komentar: