06 Februari 2008

Produksi Minyak Naik?

Angka produksi minyak yang dipatok Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) untuk tahun ini sungguh mengundang takjub. Orang dibuat takjub karena angka tentang itu begitu kental menyiratkan sikap optimistik. Seolah-olah berbagai faktor yang selama ini menelikung kegiatan produksi minyak kita sudah sirna. Sudah teratasi.

Angka produksi yang dipatok BP Migas itu sendiri adalah 1,05 juta barel per hari -- terdiri atas minyak mentah dan kondensat. Dibanding realisasi produksi selama beberapa tahun terakhir, yang rata-rata berkisar 950 ribu barel per hari, angka itu menunjukkan peningkatan signifikan. Itulah yang serta-merta mengundang takjub.

Pemerintah sendiri sudah menunjukkan sikap lebih realistis. Itu tercermin dari penurunan angka asumsi produksi minyak yang diajukan kepada DPR, beberapa waktu lalu. Dalam revisi tersebut, pemerintah mengasumsikan bahwa produksi minyak kita pada tahun ini turun dari 1,034 juta barel menjadi 910 ribu barel per hari.

Pemerintah menurunkan angka asumsi produksi minyak tentu bukan tanpa alasan mendasar. Alasan itu adalah kenyataan bahwa selama ini produksi minyak kita dalam beberapa tahun terakhir amat sulit menembus angka satu juta barel per hari. Sampai-sampai target produksi minyak selalu terbukti gagal bisa dicapai.

Jadi, dengan menurunkan angka asumsi, pemerintah ingin bersikap realistis. Pemerintah tampaknya sadar betul bahwa produksi minyak kita sudah amat susah bisa melampaui angka rata-rata 900-an barel per hari. Paling tidak untuk sementara.

Lalu, apa yang melandasi BP Migas kini berani mematok angka produksi minyak di level 1,05 juta barel? Sejauh terekam dalam pemberitaan, BP Migas menyebutkan bahwa keyakinan tentang itu berpijak pada kenyataan bahwa rata-rata produksi minyak kita selama sepuluh hari terakhir Januari lalu menembus angka satu juta barel per hari. Kenapa bisa begitu? Tak ada penjelasan!

Peningkatan produksi minyak sekarang ini memang merupakan kebutuhan mendesak. Pertama, karena tingkat konsumsi minyak di dalam negeri telanjur tinggi dengan kecenderungan terus meningkat. Kedua, karena harga minyak mentah di pasar dunia kini menjulang.

Walhasil, jika produksi minyak kita bisa ditingkatkan, kedua faktor itu tidak lagi menjadi beban yang membuat tidak sehat struktur APBN. Bahkan kalau saja angka produksi minyak ini bisa hingga jauh di atas tingkat konsumsi nasional, kita bisa menikmati kembali rezeki nomplok berupa windfall profit atas tingginya harga minyak dunia.

Karena itu, optimisme BP Migas mengenai angka produksi minyak ini sesungguhnya melegakan. Paling tidak, karena dengan itu tingkat harga minyak dunia tidak lagi menjadi beban yang menyesakkan.

Tapi, soalnya, seberapa realistiskah angka produksi yang dipatok BP Migas ini? Itulah yang menjadi soal. Kita khawatir BP Migas tergesa-gesa dalam menarik asumsi dan keyakinan mengenai angka produksi minyak ini. Jika hanya tren produksi selama sepuluh hari terakhir pada Januari lalu yang menjadi pijakan, bisa-bisa kelak kita kembali kecewa.

Kita bisa kecewa karena bisa saja tren produksi yang menjadi pijakan itu ternyata sekadar perkembangan sesaat -- karena faktor-faktor lain yang mendasar dan selama ini mengganjal produksi minyak kita tidak diperhitungkan. Justru itu, angka produksi yang dipatok BP Migas pun kelak bisa saja ternyata lagi-lagi tak menjadi kenyataan. Artinya, produksi minyak kita secara rata-rata dalam tahun ini tetap di bawah angka satu juta barel per hari.

Pesimistik? Mungkin. Tapi itu lebih baik ketimbang kita bersikap over confident sehingga asumsi dan keyakinan kita mengenai produksi minyak nasional tidak realistis lagi.

Dalam kondisi seperti sekarang ini, yaitu tingkat konsumsi minyak di dalam negeri menjulang tinggi dan di sisi lain harga minyak di pasar dunia juga selangit, sikap realistis mengenai produksi minyak nasional ini lebih bermanfaat. Dengan bersikap realistis, paling tidak kita terus dibuat sadar bahwa persoalan minyak di dalam negeri amat krusial. Dengan begitu, kita pun senantiasa terkondisi waspada menghadapi segala kemungkinan buruk.***
Jakarta, 5 Februari 2008

Tidak ada komentar: