16 Februari 2008

Mengurangi Impor Pangan

Optimistis bahwa produksi pangan di dalam negeri meningkat, pemerintah serta-merta berketetapan mengurangi impor sejumlah komoditas pangan. Tekad tersebut jelas bagus. Pertanda pemerintah punya keinginan mengurangi ketergantungan terhadap impor.

Bagi negara agraris seperti kita, ketergantungan terhadap impor pangan memang sebuah cela. Atau bahkan aib. Ketergantungan itu menunjukkan kita tidak becus mengolah dan mengelola potensi sumber daya alam yang kita miliki.

Mestinya, sebagai negara agraris, kita tak perlu sampai mengimpor pangan. Artinya, kebutuhan konsumsi di dalam negeri seharusnya bisa dicukupi oleh produksi sendiri. Bahkan, idealnya, kita sekaligus mampu menjadi pemain yang diperhitungkan dalam pasar komoditas pangan dunia.

Di sisi lain, ketergantungan terhadap impor pangan juga berbahaya. Bukan sekadar karena devisa terus terkuras, melainkan juga terutama lantaran impor menjadi disinsentif terhadap kegiatan produksi pertanian di dalam negeri. Terlebih bila dilakukan menurut mekanisme pasar, impor bahan pangan adalah racun yang perlahan-lahan mematikan gairah pertanian kita.

Tetapi, benarkah ketergantungan terhadap impor pangan ini bisa dikurangi? Beralasankah kita optimistis bahwa produksi pangan di dalam negeri meningkat?

Optimisme pemerintah sendiri berpijak pada kenyataan bahwa produksi pangan tahun lalu menunjukkan peningkatan. Produksi padi, misalnya, tahun lalu naik 4,7 persen menjadi 57,07 juta ton dibanding tahun 2006. Bahkan peningkatan produksi jagung pada tahun lalu lebih mengesankan lagi: mencapai 14,39 persen menjadi 13,28 juta ton dibanding tahun 2006.

Kalau saja kecenderungan itu memang stabil, kita layak percaya diri bahwa kebutuhan akan pangan impor bisa dikurangi. Tapi yang menjadi soal, justru tak ada jaminan bahwa produksi pangan kita bisa terus meningkat. Di sisi kebijakan, misalnya, kita tidak melihat terobosan yang menjanjikan. Pemerintah tidak menyiapkan kebijakan strategis yang bisa menjadi insentif bagi petani agar benar-benar bergairah berproduksi.

Contoh sederhana saja, harga pembelian pemerintah (HPP) sebagai instrumen insentif dalam konteks produksi padi tampaknya tidak akan diubah. Padahal inflasi belakangan ini jelas-jelas menggerogoti daya beli. Jadi, bagaimana mungkin gairah petani bisa menyala-nyala dalam melakukan budidaya padi kalau mereka sadar betul bahwa nilai ekonomis usaha mereka justru melorot digerogoti peningkatan harga aneka barang dan jasa.

Di sisi teknologi, kegiatan produksi pertanian kita juga nyaris tanpa inovasi. Kegiatan pertanian kita masih saja berpijak pada teknologi yang sebenarnya sudah usang. Karena itu, jangan-jangan produksi pangan kita sudah jenuh. Artinya, secara kondisional produksi pangan kita mungkin sulit bisa meningkat signifikan. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan kenyataan bahwa konversi lahan pertanian produktif terus berlangsung dalam skala masif.

Karena itu, optimisme tentang produksi pangan kita bisa menjebak. Bila ternyata produksi pangan ini stagnan atau bahkan melorot, sementara impor telanjur direm, kita bisa terseok-seok dalam memenuhi kebutuhan. Apalagi secara global produksi pangan tahun ini diperkirakan jeblok. Tidak kurang dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) meramalkan bahwa sejumlah negara, termasuk Indonesia, terancam mengalami krisis pangan.

Walhasil, mestinya kita jangan kelewat percaya diri dengan tergesa-gesa berketetapan mengurangi impor pangan. Sekadar sebagai sebuah tekad atau keinginan, mengurangi impor boleh-boleh saja. Tapi bila sebagai sebuah langkah operasional, agaknya itu kelewat berani. Kelewat berisiko. Kecuali produksi pangan di dalam negeri benar-benar bisa diandalkan meningkat signifikan seiring kebijakan dan strategi yang kondusif dan produktif. Namun selama kebijakan dan strategi itu masih berpijak pada paradigma lama, impor pangan tetap harus menjadi pilihan. Demi keamanan ketahanan pangan kita.***
Jakarta, 15 Februari 2008