26 September 2002

Alih Fungsi Lahan

Pemerintah kembali melontarkan niat menghentikan konversi lahan pertanian untuk kepentingan industri dan perumahan. Ini bagus dan sangat beralasan. Agar lahan pertanian tak makin menyusut, hingga ketahanan pangan kita demikian rapuh.

Tapi kita agak skeptis bahwa niat atau keinginan pemerintah itu bakal efektif. Harus diakui, upaya ke arah itu tak semudah membalikkan tangan. Selama niat itu hanya menjadi milik pucuk pimpinan pemerintah, selama itu pula konversi lahan pertanian akan terus berlangsung. Terlebih bila keinginan itu sekadar lips service atau basa-basi, penghentian konversi lahan niscaya hanya menjadi mimpi.

Itu pula yang terjadi selama ini. Entah sudah berapa kali pemerintah melontarkan keinginan menghentikan konversi lahan pertanian untuk kepentingan industri dan perumahan ini. Paling tidak ketika swasembaga pangan mulai sulit dipertahankan, pemerintahan Orde Baru sudah mencanangkan keinginan dan niat ke arah itu -- lengkap dengan keprihatinan menyangkut pesatnya perubahan fungsi lahan pertanian menjadi areal industri atau kawasan pemukiman, khususnya di Jawa yang notabene sudah terbukti berperan strategis sebagai lumbung pangan nasional.

Tapi toh keinginan itu tak pernah menjadi kenyataan. Bahkan di tengah pesatnya laju pembangunan, konversi lahan pertanian malah kian menjadi-jadi. Setiap tahun puluhan ribu hektar lahan pertanian yang terbilang subur atau berpengairan teknis terus tergusur. Terus berubah menjadi hamparan industri atau pemukiman.

Itu tak harus terjadi kalau saja niat atau keinginan pemerintah menghentikan alih fungsi lahan pertanian bukan sekadar lips service. Bukan cuma basa-basi.

Dengan kata lain, selama ini pemerintah tak pernah serius menghentikan alih fungsi lahan pertanian untuk kepentingan industri dan pemukiman. Malah pemerintah terkesan bangga oleh setiap laju pertambahan tegakan industri yang jelas-jelas menggusur lahan pertanian sekalipun. Di sisi lain, pemerintah juga seolah menutup mata terhadap bertumbuhannya kawasan pemukiman di areal lahan pertanian.

Dalam konteks itu, agaknya, pemerintah sendiri tak terlampau yakin bahwa sektor pertanian layak dipertahankan sebagai basis sosial-ekonomi -- khususnya dalam rangka menegakkan ketahanan pangan. Bagi pemerintah, sangat boleh jadi, industri lebih meyakinkan dalam meneteskan nisbah ekonomi berupa nilai produksi maupun penyerapan tenaga kerja.

Dalam konteks itu pula kita bisa memahami kenapa selama ini niat menghentikan alih fungsi lahan pertanian tak pernah dijabarkan menjadi kebijakan yang operasional dan mengikat -- lengkap dengan sanksi-sanksi bagi siapa pun yang melakukan pelanggaran. Niat ke arah itu pun, jadinya, hanya bergaung sesaat. Niat ke arah itu selalu segera luruh tergerus oleh degup semangat menyokong kehidupan industri dan perumahan.

Kini, di era reformasi ini, keinginan pemerintah menghentikan alih fungsi lahan pertanian bergema kembali. Presiden Megawati Soekarnoputri mengaku galau oleh kenyataan bahwa ketahanan pangan kita terancam rapuh oleh tindak penyusutan lahan pertanian.

Namun kita khawatir bahwa itu hanya merupakan kesadaran pucuk pimpinan pemerintahan seperti selama ini. Betapa tidak, karena tak ada jaminan bahwa segenap jajaran birokrasi pun serta-merta memiliki kesadaran dan keinginan serupa. Bahkan, sesungguhnya, perilaku birokrasi pula yang selama ini mengondisikan niat pemerintah ke arah itu menjadi sekadar basa-basi. Bukan saja law enforcement tak pernah dirumuskan, melainkan juga izin alih fungsi lahan pertanian untuk kepentingan industri dan perumahan juga terus mereka keluarkan. Tanpa rasa bersalah ataupun risau oleh rawannya ketahanan pangan nasional.

Di sisi lain, kita juga melihat kebijakan-kebijakan pemerintah tak bisa diandalkan mampu mengangkat nilai tukar hasil pertanian. Entah di sektor pertanian sendiri ataupun di sektor-sektor lain, berbagai kebijakan yang digariskan pemerintahan sekarang ini tetap lebih banyak merugikan kepentingan petani. Bahkan tercuatkan kesan bahwa nasib petani hanya menempati urutan kesekian di antara deretan kepentingan lain yang menjadi perhatian pemerintah. Banjir beras impor atau gula pasir, misalnya, merupakan secuil bukti tentang amat rendahnya kepedulian dan komitmen pemerintah terhadap kaum tani ini.

Tak heran, karena itu, petani di Indonesia adalah kelompok yang nyaris tak memiliki masa depan cerah. Nasib mereka selalu menjadi bulan-bulanan permainan kepentingan pihak-pihak lain. Justru itu, jangan salahkan kalangan petani jika mereka begitu gampang melepas lahan pertanian kepada pengembang yang mengiming-imingi mimpi sesaat berupa harga tanah yang relatif miring.

Karena itu pula, sekali lagi, kita skeptis bahwa niat pemerintah menghentikan alih fungsi lahan pertanian ini akan benar-benar efektif.***

Jakarta, 26 September 2002

Tidak ada komentar: