14 September 2002

Kebijakan Setengah Hati

Juklak Keppres Nomor 56/2002 adalah angin segar bagi usaha kecil menengah (UKM) yang selama ini telanjur dililit kredit bermasalah. Ini karena juklak tersebut tegas mengatur fasilitas potongan utang pokok (hair cut) sebesar 25 persen plus pembebasan beban utang bunga serta denda sebesar 100 persen. Fasilitas ini diberikan kepada UKM yang membayar tunai sekaligus atau mencicil tunggakan utang maksimal sebanyak enam kali hingga Januari 2003.

Selama ini, bahkan setelah pemerintah pada akhir Juli 2002 mengeluarkan Keppres Nomor 56/2002 sekalipun, insentif restrukturisasi utang UKM ini sungguh samar-samar. Pemerintah tidak pernah tegas menyebut angka hair cut maupun fasilitas pembebasan beban utang bunga dan denda. Soal angka ini selalu saja sekadar berputar-putar sebagai wacana publik. Dalam kaitan itu, pemerintah terkesan larut dalam tarik-menarik kepentingan. Tak heran perumusan Keppres Nomor 56/2002 pun baru kelar dan kemudian diteken Presiden Megawati setelah bolak-balik direvisi sebanyak 26 kali. Toh, sekali lagi, Keppres Nomor 56/2002 ini sama sekali tak menyebut angka diskon utang.

Karena itu, terbitnya Juklak Keppres Nomor 56/2002 -- yang menjanjikan diskon utang sebesar 25 persen plus pembebasan beban utang bunga dan denda -- serta-merta menjadi angin segar bagi UKM yang sudah megap-megap dililit kredit macet. Dengan itu, UKM bisa lumayan bernapas lega.

Meski demikian, kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Juklak Keppres Nomor 56/2002 ini tak serta-merta optimal mengusung rasa keadilan bagi kalangan pelaku usaha nasional secara keseluruhan. Betapa tidak, karena fasilitas restrukturisasi utang UKM relatif tak berarti dibanding perlakuan pemerintah terhadap kalangan debitor kakap. Coba saja simak, sejak jauh hari pemerintah menggariskan bahwa tingkat pengembalian (recovery rate) kredit debitor kakap hingga 30 persen. Itu berarti, pemerintah menanggung utang debitor kakap minimal sampai 70 persen. Bukankah itu berbanding terbaik dengan diskon utang yang diberikan terhadap UKM? Padahal UU Propenas justru mengamanatkan bahwa recovery rate kredit UKM ini adalah 30 persen.

Entah pertimbangan apa yang melatari kebijakan pemerintah menggariskan diskon utang UKM sebesar 25 persen dan recovery rate kredit debitor kakap sebesar 30 persen ini. Hitungan matematis macam apa yang digunakan hingga keluar angka-angka itu, agaknya, hanya pemerintah sendiri yang paham.

Kita sendiri hanya tahu bahwa selama ini UKM lebih cenderung diperlakukan sebagai komoditas politik ketimbang pilar kekuatan ekonomi nasional. Ingat saja paradigma ekonomi kerakyatan. Sejauh ini, paradigma tersebut tak pernah jelas. Jangankan dalam implementasi, bahkan sekadar sebagai konsepsi saja entah seperti apa. Sebab memang tak tegas dan tak tandas dirumuskan.

Justru itu, diakui ataupun tidak, sejauh ini sikap pro-UKM yang ditunjukkan pemerintah seolah hanya sekadar kosmetik untuk mengaburkan kenyataan yang lebih condong prokonglomerat. Tentang itu, tengok saja soal restrukturisasi utang. Terhadap debitor kakap, pemerintah sejak jauh hari sudah menunjukkan keseriusan -- lengkap dengan pendekatan dan opsi-opsi yang banyak meringankan pengutang. Sementara terhadap debitor UKM, perhatian pemerintah baru tampak belakangan. Yakni setelah krisis ekonomi mendera selama empat tahun lebih.

Toh langkah kongkret ke arah restrukturisasi utang UKM ini begitu alot dan seperti setengah hati. Dalam kerangka itu pula, agaknya, kita bisa memahami kenapa angka diskon utang bagi UKM ini hanya 25 persen -- bukan 50 persen, 60 persen, atau 70 persen seperti angka recovery rate kredit bagi debitor kakap.

Memang, dengan memperoleh diskon utang 25 persen, UKM bisa lumayan bernapas lega. Himpinan beban yang selama ini membuat mereka begitu sesak dalam mengayun langkah bisnis jelas berkurang. Tapi setelah itu lalu bagaimana? Akankah mereka serta-merta segera bangkit kembali dari keterpurukan?

Tampaknya tidak. UKM yang telah menikmati restrukturisasi kredit ini sulit bisa serta-merta melejit bangkit. Bagaimanapun, setelah menumpahkan sekian banyak dana hingga bisa lolos menikmati restrukturisasi kredit, mereka masih limbung. Mereka membutuhkan konsolidasi. Entah berapa lama. Sementara lingkungan dunia usaha nasional secara keseluruhan belum juga kondusif. Aneka pungutan masih meraja-lela, keamanan tetap mengundang waswas, aturan main bisnis juga belum junjung jelas.

Itu makin menegaskan kenyataan bahwa kebijakan pemerintah dalam memberdayakan UKM ini masih setengah hati dan tidak komprehensif. Bagaimanapun, Keppres Nomor 56/2002 plus juklaknya sulit diharap menjadi instrumen ampuh yang mengondisikan UKM mampu bangkit dan berdaya dalam tempo relatif singkat setelah utang mereka direstrukturisasi. Lain soal kalau kebijakan itu disertai ketentuan yang membuat kemampuan modal UKM bisa segera terkonsolidasi -- katakan saja melalui skema pendanaan kembali.***


Jakarta, September 2002

Tidak ada komentar: