14 September 2002

Reprofiling Obligasi

Apa makna kesepakatan pemerintah dan empat bank BUMN -- Bank BRI, Bank BTN, Bank BNI, dan Bank Mandiri -- mengenai penataan ulang profil (reprofiling) obligasi rekap di keempat bank? Jawabnya, melegakan! Kesepakatan itu bukan sekadar merupakan terobosan bagi pemerintah dalam menghadapi beban obligasi jatuh tempo. Lebih dari itu, kesepakatan tersebut juga bisa mendorong fungsi intermediasi keempat bank bergerak kembali. Di sisi lain, sektor riil pun bisa diharapkan berdegup dan bergairah kembali.

Bagi pemerintah, kesepakatan itu serta-merta membuat risiko default alias gagal bayar atas beban obligasi di keempat bank jadi pudar. Karena ditata jadi relatif merata,
beban obligasi jatuh tempo itu tidak kian lama kian menggunung hingga kelak sangat menyulitkan pemerintah.

Tanpa reprofiling, memang, beban obligasi jatuh tempo kian lama kian mengondisikan pemerintah terjebak risiko default. Maklum karena kemampuan keuangan pemerintah sangat cekak, sementara beban obligasi jatuh tempo kian lama kian membengkak. Di keempat bank itu saja, beban obligasi jatuh tempo ini sungguh bukan main. Pada 2004 saja, beban tersebut total bernilai Rp 24,71 triliun. Sementara pada 2006 senilai Rp 35,94 triliun. Puncaknya, pada 2009, nilai obligasi jatuh tempo di keempat bank plat merah ini bernilai Rp 35,94 triliun,

Ditambah obligasi jatuh tempo di bank-bank lain sesama peserta program rekap, beban yang harus ditanggung pemerintah sungguh menyesakkan -- bahkan mengerikan. Pada 2004, total nilai obligasi jatuh tempo adalah Rp 48,68 triliun dan pada 2009 senilai Rp 111,30 triliun.

Beban itu sungguh menyesakkan. Bahkan makin lama pemerintah kian terkondisi menghadapi risiko default. Ini yang bisa semakin merontokkan kredibilitas kita di dunia internasional.

Alasan itu pula yang melatari sikap pemerintah melontarkan gagasan tentang reprofiling obligasi di bank-bank peserta program rekap ini. Dengan itu, beban yang harus ditanggung pemerintah dibuat relatif tersebar merata -- tak cenderung makin lama menumpuk dan menyesakkan. Pada 2004, misalnya, reprofiling membuat beban obligasi jatuh tempo berkurang sekitar Rp 22 triliun menjadi Rp 25,9 triliun.

Memang, untuk itu, pemerintah harus mengeluarkan tambahan bunga obligasi. Dalam kasus reprofiling obligasi jatuh tempo di empat bank BUMN, misalnya, tambahan beban bunga obligasi yang harus ditanggung pemerintah ini bernilai sekitar Rp 824 miliar per tahun. Tapi beban tambahan tersebut relatif lebih ringan ketimbang pemerintah harus menebus kupon obligasi yang jatuh tempo. Karena itu, kesepakatan dengan empat bank BUMN tentang reprofiling obligasi jatuh tempo membuat pemerintah bisa bernapas lega.

Namun, tentu, bersamaan dengan itu pemerintah juga dituntut segera memupuk kemampuan keuangan. Bagaimanapun, kesepakatan reprofiling dengan empat bank BUMN bukan gratisan. Itu tadi: kesepakatan tersebut membuat beban bunga obligasi yang harus dibayar pemerintah bertambah sekitar Rp 824 miliar per tahun. Jika tak sungguh-sungguh memupuk kemampuan keuangan -- sebut saja melalui program privatisasi dan penjualan aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) -- beban tambahan itu malah hanya menambah beban APBN. Meski beban tambahan itu hanya Rp 824 miliar, jika kemampuan keuangan pemerintah tak membaik, defisit anggaran pun bisa-bisa malah semakin parah.

Bagi pihak bank sendiri, kesepakatan reprofiling ini serta-merta bisa mengangkat prospek kinerja keuangan mereka jadi lebih bagus. Itu karena neraca keuangan mereka terbebas dari risiko kupon obligasi rekap yang jatuh tempo gagal bisa dibayar pemerintah. Karena itu, rencana penawaran saham perdana alias initial public offering (IPO) Bank Mandiri, misalnya, bisa diharapkan lebih mulus.

Sejauh ini, rencana IPO Bank Mandiri ini -- setelah beberapa kali tertunda karena alasan teknis -- memang agak merisaukan. Ada kekhawatiran bahwa langkah itu kelak ternyata tak membuahkan hasil optimal sebagaimana harapan. Pasar bisa kurang memberi respon positif gara-gara tumpukan obligasi rekap.

Di luar kepentingan privasisasi, reprofiling obligasi rekap ini juga memungkinkan bank-bank bersangkutan terpacu memperoleh pendapatan dari bunga pinjaman. Mereka bisa kita harapkan tak lagi terbuai oleh pendapatan bunga obligasi pemerintah. Mereka bisa terdorong melakukan ekspansi kredit dalam bilangan signifikan.

Dengan kata lain, reprofiling obligasi rekap bisa membuat fungsi intermediasi perbankan bergerak lagi. Itu berarti, sektor riil yang selama ini kehausan oleh guyuran pinjaman bank pun bisa berdenyut dan bergairah kembali. Efek ikutannya jelas: lapangan kerja tercipta dan daya beli masyarakat pun membaik.***

Jakarta, September 2002

Tidak ada komentar: