10 September 2002

Reformasi Kepabeanan

Sangat boleh jadi, usulan Dana Moneter Internasional (IMF) tentang penerapan sistem pemeriksaan prapengapalan (pre-shipment inspection) mengandung pamrih. Pamrih yang bisa menambah berat beban keuangan kita.

Pamrih itu adalah kepentingan bisnis lembaga surveyor asing (Prancis), Societte Generale de Surveillance (SGS). Boleh jadi, usulan pre-shipment inspection atas barang impor merupakan upaya IMF membukakan jalan bagi SGS agar menangguk kontrak sebagai surveyor.

Indikasi tentang itu cukup gamblang. Simak saja proposal IMF yang tertuang dalam dokumen Review of Tax Policy, Tax Administration and Customs Administration Reforms -- notabene lebih dikenal sebagai Aide Memoire III -- tertanggal 12 Agustus 2002. Dalam dokumen tersebut, anggota misi IMF menyebutkan bahwa penerapan pre-shipment inspection harus diaplikasikan dengan bantuan surveyor independen.

Berkaitan dengan itu, santer disebut-sebut bahwa pimpinan SGS sempat melobi pejabat pemerintahan kita. Itu tak lama setelah IMF menyodorkan Aide Memoire III. Mereka, konon, mengajukan proposal yang sama dengan konsep IMF. Apakah itu kebetulan? Rasa-rasanya tidak.

Kita memang tidak tahu persis sejauhmana hubungan IMF dan SGS berkaitan dengan usulan tentang penerapan pre-shipment inspection atas barang impor ini. Kita juga tak paham bahwa IMF sebagai dokter kita dalam menghadapi krisis ekonomi bisa didomplengi kepentingan pihak tertentu seperti SGS. Yang pasti, itu kian menguak kenyataan bahwa kiprah IMF bukan tanpa pamrih.

Sejumlah kasus tentang itu bisa kita deretkan. Sebut saja, antara lain, pembukaan kran ekspor kayu gelondongan (log). Itu terbukti memicu sekaligus memacu tindak penebangan liar dan penyelundupan log ke luar negeri. Akibatnya sungguh gawat. Deforestasi melaju kencang dan sulit dibendung, industri pengolahan kayu di dalam negeri nyaris bangkrut, juga penerimaan negara atas sumberdaya hutan banyak lolos.

Usulan IMF tentang pre-shipment inspection barang impor itu sendiri -- notabene mereka tekankan sebagai sesuatu yang perlu diterapkan dengan memanfaatkan jasa surveyor independen -- sungguh bukan perkara enteng. Bagaimanapun, jika diterapkan, usulan tersebut jelas harus menguras dana. Sekadar gambaran, untuk membayar jasa pemeriksaan barang ekspor oleh PT Sucofindo, tempo hari, pemerintah harus merogoh kocek senilai Rp 500 miliar per tahun. Beban itu pula yang mendorong pemerintah kemudian memutus kontrak dengan Sucofindo pada akhir Juli 2001. Dengan itu pula, fungsi pemeriksaan barang ekspor dikembalikan kepada Ditjen Bea dan Cukai setelah sekian tahun dipercayakan kepada Sucofindo.

Jasa SGS sendiri pernah kita manfaatkan sejak 1984 hingga pertengahan 1990-an. Itu dalam rangka penerapan sistem pre-shipment inspection sesuai Inpres Nomor 5/1984. Fee yang dikeluarkan pemerintah untuk itu tak tanggung-tanggung: 400 juta dolar setahun! Padahal anggaran Kantor Bea dan Cukai sendiri ketika itu hanya ekivalen 25 juta dolar per tahun.

Jadi, haruskah kekonyolan seperti itu terulang kembali? Siapa pun yang mengaku warga negeri ini -- sepanjang memiliki sense of crisis -- pasti tak akan setuju.

Memang, kita tak menutup mata bahwa Bea Cukai sebagai instansi terpenting dalam menjaga kelancaran arus barang dan sekaligus sebagai benteng terdepan dalam pengawasan dan pengamanan pabean belum berfungsi optimal. Juga, ini sudah menjadi rahasia umum sejak lama, instansi tersebut tak benar-benar bersih. Pungutan liar atau bahkan penyimpangan ketentuan oleh oknum -- seperti juga di lembaga birokrasi lain -- sedikit banyak masih melekat di tubuh Bea Cukai ini. Misalnya, penyelundupan beberapa komoditas impor jelas merupakan gambaran tentang masih buramnya peran dan fungsi Bea Cukai ini.

Tetapi apakah karena itu kita lantas perlu menerapkan kembali sistem pre-shipment inspection seperti pada periode 1980-1990 lalu? Benarkah sistem tersebut merupakan solusi mujarab terhadap fenomena penyelundupan beberapa komoditas impor?

Tampaknya tidak. Bukan saja penerapan sistem pre-shipment inspection hanya akan menghambur-hamburkan dana, sementara keuangan negara kini sungguh memrihatinkan. Lebih dari itu, sistem itu sendiri hanya efektif berfungsi jika diterapkan menyeluruh terhadap setiap barang yang kita impor. Padahal UU Nomor 10/1995 tentang Kepabeanan menyebutkan bahwa pemeriksaan impor dilakukan selektif, dan itu dilakukan oleh Bea Cukai.

Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan agar Bea Cukai lebih berfungsi efektif sebagai benteng terdepan dalam pengawasan dan pengamanan pabean ini? Barangkali kita sepakat: reformasi kepabeanan sungguh mutlak dan sangat mendesak perlu dituntaskan. Sejatinya, soal itu pula yang selama ini membuat peran dan fungsi Bea Cukai ini tak pernah optimal dan diwarnai cela.***


Jakarta, September 2002

Tidak ada komentar: