06 Oktober 2002

Tax Holiday, Kenapa Tidak?

Tragedi bom di Legian, Kuta, Bali, bukan sekadar mengundang kepiluan dan kutukan dunia. Tragedi itu juga serta-merta menorehkan kenyataan lain yang tak kalah mengiris hati. Prospek ekonomi nasional babak-belur. Hasil jerih-payah kita selama ini memulihkan kehidupan ekonomi, setelah terpuruk dahsyat diterjang krisis moneter sejak 1997 silam, nyaris sirna seketika. Porak-poranda. Kita tiba-tiba harus kembali melangkah tertatih-tatih dari titik nol.

Apa boleh buat, tragedi Bali memang membuat kepercayaan dunia atas keamanan di negeri kita benar-benar jadi jeblok. Tengok saja, sesaat setelah tragedi bom itu tersiar ke berbagai belahan dunia, sejumlah negara serta-merta mengeluarkan larangan bagi warga mereka bertandang ke Indonesia. Itu berarti kiamat bagi industri kepariwisataan kita.

Di sisi lain, kalangan pemilik modal pun jadi kian enggan masuk ke negeri kita. Malah sejumlah kalangan memperkirakan, investor yang selama ini sudah mantap mengelola usaha di sini pun sangat mungkin kini bersiap-siap angkat kaki ke negeri lain. Tindakan itu bukan hanya bisa ditunjukkan oleh investor asing. Jajaran pemilik modal lokal pun, atas pertimbangan bisnis, boleh jadi ikut-ikutan hengkang memindahkan modal dan usaha ke mancanegara. Mereka merasa tak memiliki alasan lagi terus mengepakkan kegiatan usaha di sini, karena faktor keamanan kian niscaya tak terjamin.

Walhasil, kegiatan investasi di dalam negeri -- notabene selama ini pun sudah tak mengesankan -- sangat mungkin segera menyusut ke tingkat yang tak pernah kita bayangkan. Itu berarti, kehidupan ekonomi nasional ke depan ini sungguh buram. Carut-marut. Padahal tanpa dihantam dampak tragedi Bali pun, ekonomi kita sudah demikian berat menyandang masalah: penganguran demikian menggunung. Laju pertumbuhan ekonomi, dalam kaitan ini, tak sebanding dengan tingkat pengangguran.

Menurut perkiraan, angka pengangguran sudah mencapai 35 juta hingga 40 juta orang. Itu sungguh bukan main. Padahal angka itu sangat mungkin kian membengkak lagi dalam waktu dekat jika investor benar-benar hengkang memboyong proyek atau modal mereka ke luar negeri. Justru itu, tumpukan masalah pengangguran ini niscaya merupakan bom waktu yang setiap saat bisa meledak dengan akibat yang jauh lebih dahsyat ketimbang ledakan di Legian.

Menimbang kemungkinan itu, penerapan fasilitas tax holiday seperti dilontarkan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Theo F Toemion terasa beralasan. Fasilitas tersebut, barangkali, bisa diandalkan menahan arus eksodus sekaligus menarik penanaman modal. Paling tidak, tax holiday bisa diharapkan membuat kalangan pemilik modal yang sudah mapan berkiprah tak lantas berpikir untuk hengkang dari negeri kita.

Urgensi tentang penerapan tax holiday ini sudah berkali-kali dilontarkan Toemion. Tapi sejauh ini selalu saja gagasan itu mental. Pihak Depkeu, dalam kaitan ini, berkeberatan. Bagi mereka, penerapan tax holiday sungguh tak produktif. Bahkan sekadar diterapkan terhadap proyek baru penanaman modal sekalipun, dalam pertimbangan mereka, tax holiday tetap tak relevan. Tax holiday hanya membuat ciut potensi penerimaan pajak.

Meski masih bisa diperdebatkan, asumsi itu mungkin benar. Tapi apakah karena itu gagasan tentang penerapan tax holiday di tengah kondisi ekonomi yang memburuk sekarang ini tetap dinafikan? Akankah kita tetap berkukuh pada pendirian bahwa tax holiday tak sehat bagi kepentingan fiskal, sementara di lain pihak kondisi ekonomi kita menuntut terobosan segera?

Agaknya, dihadapkan pada kondisi ekonomi yang gawat-darurat sekarang ini, kita dituntut bersikap sangat pragmatis. Kita mesti menanggalkan pertimbangan-pertimbangan idealistis. Kita juga dituntut membuang jauh-jauh sikap egoistis. Kita harus segera menentukan pilihan-pilihan paling mungkin mendatangkan manfaat. Meski manfaat itu relatif tak seberapa menurut takaran kondisi normal.

Dalam konteks itu pula, gagasan tentang penerapan tax holiday yang dilontarkan kembali oleh Kepala BPKM di tengah kondisi ekonomi nasional yang mencemaskan sekarang ini kita coba letakkan. Tax holiday sangat beralasan kita tebarkan sebagai katup pengaman atau bahkan terobosan sosial dalam rangka mengatasi bom waktu berupa problem pengangguran yang sungguh terasa mengundang riskan.

Jadi, kenapa tidak tax holiday kita terapkan sekarang ini? Terlebih, seperti diakui Dirjen Pajak Hadi Poernomo, target penerimaan pajak tahun 2002 ini sangat mungkin tak tercapai -- akibat terhembus dampak tragedi bom Bali. Dengan kata lain, sesungguhnya, tanpa menerapkan tax holiday pun potensi penerimaan pajak kita sudah ciut.***


Jakarta, Oktober 2002

Tidak ada komentar: