06 Oktober 2002

Aturan Main Privatisasi

Sikap antiprivatisasi BUMN kian mengkristal. Rabu, 9 September 2002, sejumlah organisasi kemasyarakatan mendeklarasikan pembentukan Barisan Penyelamat Aset Bangsa (BPAB). Mereka yang menyokong keberadaan lembaga tersebut adalah beberapa serikat pekerja BUMN, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan komponen mahasiswa.

Melalui BPAB, mereka meneguhkan penilaian bahwa program privatisasi BUMN sudah sangat melenceng dan merugikan negara. Karena itu, jika pemerintah tak segera menghentikan privatisasi BUMN, mereka mengaku siap melakukan gugatan class action.

Berlebihankah mereka? Jika berpijak pada alasan-alasan idealistis, sikap mereka sungguh bisa kita terima. Bagaimanapun, jika privatisasi BUMN membuat kontrol pemerintah menjadi terlepas -- karena penguasaan beralih dari negara kepada swasta -- kepentingan rakyat jelas dipertaruhkan. Kepentingan rakyat tergadai.

Terlebih jika menyangkut BUMN sangat strategis, yakni memangku hajat hidup rakyat banyak, privatisasi bisa tergolong merupakan tindak pelanggaran terhadap amanat konstitusi. Bukankah pasal 33 UUD 1945 tegas menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak mutlak harus dikuasai negara?

Kenyataannya, program privatisasi ini tak terkecuali mencakup BUMN-BUMN yang memangku hajat hidup rakyat banyak. Siapa pun pasti sepakat bahwa Telkom, misalnya, adalah BUMN yang mestinya kukuh dipertahankan. Tetap dikuasai negara. Tapi pemerintah justru menetapkan Telkom sebagai BUMN yang diprioritaskan masuk program privatisasi.

Di sisi lain, program privatisasi juga terkesan dipaksakan. Belum lama ini, misalnya, pemerintah menyatakan bahwa program privatisasi BUMN tetap jalan terus. Padahal kondisi pasar kini sangat tidak kondusif. Kondisi pasar potensial menorehkan kerugian jika privatisasi tetap dilaksanakan.

Memang, program privatisasi BUMN sudah masuk letter of intent (LoI) Dana Moneter Internasional (IMF). Tapi apakah benar itu merupakan harga mati, sehingga privatisasi harus tetap dilaksanakan meski situasi dan kondisi jelas-jelas tak menguntungkan?

Kalaupun benar bahwa LoI merupakan harga mati, mestinya pemerintah tak terlampau galau oleh ancaman klasik IMF: kucuran pinjaman mereka tahan. Toh kucuran pinjaman mereka belakangan ini tak bisa langsung kita manfaatkan -- karena cadangan devisa di Bank Indonesia masih relatif mencukupi. Jadi, mengapa kita khawatir bahwa IMF ngambek dan menahan pencairan pinjaman? Justru itu, mengapa privatisasi BUMN terkesan dipaksakan?

Kita setuju bahwa defisit dalam APBN menganga lebar. Tapi itu mestinya tidak menjadi alasan utama privatisasi BUMN. Itu berbahaya, karena bisa melahirkan kepanikan pemerintah. Kepanikan itu sendiri, pada gilirannya, bisa melahirkan tindakan grasa-grusu: privatisasi BUMN lebih menyerupai aksi "cuci gudang".

Dengan kata lain, langkah menangani masalah defisit APBN ini jangan diletakkan pada program privatisasi. Toh masih ada alternatif lain yang tak kalah strategis: penjualan aset-aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Yang penting, program penjualan aset di BPPN ini juga benar-benar terencana sehingga bisa diperoleh hasil optimal.

Program privatisasi sendiri, di lain pihak, mestinya ditempatkan sebagai strategi penyehatan BUMN. Kasus di berbagai negara jelas menunjukkan bahwa privatisasi mengondisikan BUMN tumbuh sehat dan optimal dalam meraih keuntungan. Studi International Finance Corporation, misalnya, menyimpulkan bahwa 67 persen kasus privatisasi BUMN mampu meningkatkan profitabilitas unit-unit usaha bersangkutan.

Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa BUMN kita cenderung menjadi sapi perahan pihak-pihak yang memiliki akses kekuasaan. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sendiri tegas menyimpulkan bahwa BUMN selama ini menjadi sarang praktik KKN.

Tapi melihat kasus-kasus di berbagai negara, kita berkeyakinan bahwa privatisasi bisa diandalkan mampu memupus praktik tak sehat itu. Bahkan privatisasi juga bisa mendorong BUMN tumbuh menguntungkan tanpa membebani khalayak luas.

Karena itu pula, kita bisa menerima gagasan tentang privatisasi BUMN ini. Hanya, itu tadi, langkah tersebut jangan lantas menanggalkan penguasaan pemerintah atas unit usaha bersangkutan. Terlebih jika menyangkut BUMN strategis yang menguasai hajat hidup rakyat banyak.

Di sisi lain, langkah privatisasi juga harus berpijak pada hasil perencanaan yang benar-benar matang dan terarah. Dengan demikian, kita bisa berharap bahwa privatisasi efektif berhasil -- secara ideal maupun ekonomis.

Untuk itu, barangkali, UU BUMN bisa membuat filosofi, kriteria, maupun rambu-rambu yang menjadi aturan main privatisasi ini. Yang jadi soal sekarang: kapan undang-undang tersebut lahir? Kesan yang mencuat selama ini, semangat pemerintah maupun DPR dalam menggulirkan kelahiran UU BUMN terkesan melempem. Kenapa?***

Jakarta, Oktober 2002

Tidak ada komentar: