08 Oktober 2002

Kontrak IMF Berakhir

Akhirnya pemerintah memastikan bahwa kontrak Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai dokter yang menangani krisis ekonomi nasional tak akan diperpanjang. Itu berarti, kontrak IMF ini berakhir pada tahun 2003. Setelah itu, good bye IMF!

Keputusan tentang itu bukan sekadar konsisten melaksanakan Tap MPR 2002. Tapi juga merupakan jawaban yang melegakan atas kenyataan pahit selama ini: IMF gagal berperan membantu memulihkan ekonomi nasional. Resep-resep yang mereka sodorkan -- liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi -- terbukti tidak manjur. Krisis ekonomi nasional pun tak kunjung sembuh. Ekonomi kita tetap kembang-kempis.

Kalangan pengamat ekonomi sudah sejak lama mengingatkan bahwa resep-resep IMF bukan saja tidak cespleng, melainkan juga sering ngawur dan mengada-ada. Sudah begitu, mereka juga sangat memaksakan agar pemerintah menerapkan resep-resep yang mereka ajukan. Tentang ini, Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie menyebutkan bahwa IMF selalu menyodorkan jurus "pokoknya nurut atau perundingan bubar".

Akibatnya seringkali konyol. Divestasi saham pemerintah di Bank BCA atau Bank Niaga, misalnya, tetap dilaksanakan meski jelas-jelas merugikan negara -- karena tumpukan obligasi rekap di kedua bank tak ditarik lebih dulu. Contoh lain adalah pembukaan kran ekspor kayu gelondongan (log). Langkah tersebut terbukti sangat konyol karena serta-merta memicu tindak penebangan liar dan penyelundupan log ke mancanegara. Itu bukan saja membuat potensi penerimaan negara banyak lolos, melainkan juga mengakibatkan proses deforestasi berlangsung gila-gilaan tanpa bisa dibendung.

Pemerintah sendiri terkesan tidak memiliki pilihan lain kecuali tunduk-patuh terhadap kemauan IMF. Pemerintah selalu mengaku khawatir bahwa IMF kemudian ngambek jika keinginan atau resep mereka dalam menanggulangi krisis ekonomi tak diindahkan. Jika IMF sampai ngadat, pemerintah cemas bahwa dunia internasional kemudian ikut-ikutan meradang pula. Kalangan investor, misalnya, bisa-bisa enggan datang dan ogah menabur modal di sini.

Kekhawatiran itu sendiri terasa berlebihan. Barangkali kekhawatiran itu lebih merupakan rekaan atau fantasi pemerintah sendiri. Buktinya, meski sudah tunduk-patuh terhadap kemauan IMF, investor asing ternyata tak kunjung berbondong-bondong masuk ke negeri kita. Bahkan sebaliknya, investor yang selama ini sudah ajek menggeluti usaha di sini pun belakangan angkat kaki. Dengan berdalih bahwa keamanan tak cukup terjamin, serta di sisi lain iklim investasi tak kondusif lagi, sejumlah pemodal asing merelokasi usaha mereka ke negara lain.

Di tengah kondisi seperti itu pula, sekali lagi atas tekanan IMF melalui formula letter of intent (LoI), aset-aset negara terus menyusut drastis melalui privatisasi dan divestasi. Ekonomi nasional kian compang-camping sebagaimana tercermin pada defisit dalam APBN. Sementara prospek pemulihan masih saja samar-samar dan entah kapan bisa tercapai. Padahal, terutama akibat liberalisasi dan deregulasi, rakyat kebanyakan sudah membayar mahal ongkos proses pemulihan ekonomi yang dijejalkan IMF ini. Mereka harus menanggung beban amat berat dan parah: kehidupan kian sulit dan serba mahal.

Toh, semula, pemerintah memberi isyarat bahwa kontrak IMF ini tak bakal segera diputus. Itu tandas diutarakan Presiden Megawati Soekarnoputri saat berpidato di hadapan sidang tahunan MPR, Agustus 2002. Ketika itu, Mega menyatakan bahwa Indonesia masih membutuhkan kehadiran IMF untuk menumbuhkan kepercayaan dunia internasional terhadap ekonomi makro dan moneter di dalam negeri.

Tapi, barangkali karena MPR tegas mengamanatkan, pemerintah ternyata kemudian berpendirian lain. Kontrak IMF tak diperpanjang setelah habis pada tahun 2003. Itu, sekali lagi, sungguh terasa melegakan. Kita berharap, setelah tak lagi terikat kontrak dengan IMF, pemerintah bisa menggulirkan kebijakan-kebijakan yang lebih tepat sasaran dan benar-benar prorakyat kebanyakan. Kita percaya bahwa pemerintah bersama segenap komponen bangsa memiliki kemampuan untuk itu.

Dalam tataran legal-formal, perencanaan mantap dan matang harus segera disiapkan pemerintah bersama DPR: apa dan bagaimana langkah-langkah yang akan dilakukan untuk menanggulangi krisis yang telanjur berkepanjangan ini. Jika tidak, keadaan tetap tak bakal kunjung membaik. Bahkan bukan tidak mungkin malah semakin amburadul.

Justru itu, pemerintah dan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan harus memiliki ketulusan dan kejujuran untuk tidak memanfaatkan situasi pasca-IMF ini sebagai arena bancakan. Kita sangat khawatir mengenai kemungkinan tersebut.***

Jakarta, Oktober 2002

Tidak ada komentar: