16 November 2001

Nasib PT Timah


Nasib PT Timah di ujung tanduk. Jika langkah penyelamatan tak segera dilakukan, BUMN pertambangan yang menguasai areal kerja di Bangka dan Belitung ini pasti ambruk. Bangkrut. Risiko tersebut sudah begitu gamblang terhampar. Seperti kata Dirut Timah Erry Ryana Hardja Pamekas, kondisi cash flow Timah kini hanya cukup sampai Februari 2002. Bila perbaikan berarti tak segera menyentuh, April 2002 napas Timah praktis mulai megap-megap. Makin lama, kondisi mereka jelas makin memburuk. Karena itu, manajemen Timah pun sudah menyiapkan skenario paling pahit: self liquidation alias memilih bangkrut.

Mungkinkah pada akhirnya Timah hanya tinggal sejarah? Tampaknya pemerintah tak rela. Dalam konteks ini, Menneg BUMN Laksamana Sukardi mengusulkan Timah menempuh merger dengan BUMN pertambangan lain, yaitu PT Aneka Tambang. Bagi Laksamana, itu merupakan alternatif yang paling mungkin ditempuh untuk menyelamatkan Timah hingga bisa tetap survive. Benarkah?

Rasanya tidak. Melihat kondisi Timah saat ini yang sudah begitu payah, merger tampaknya bukan solusi. Betapa tidak, karena proses ke arah itu membutuhkan waktu relatif lama. Proses due diligence, dalam konteks ini, jelas tak bisa tuntas dalam hitungan minggu. Padahal due diligence sangat mendasar. Paling tidak bagi calon pasangan merger, hasil due diligence sungguh mutlak jika mereka tak ingin kejeblos pada kerumitan masalah ekonomis di kemudian hari.

Karena proses due diligence ini membutuhkan waktu lumayan, bisa-bisa Timah sudah ambruk duluan sebelum merger menjadi kenyataan. Atau andai pun proses itu bisa dikebut habis-habisan, hasil yang tertorehkan belum tentu positif: merger tak cukup layak dilakukan menurut sudut pandang teknis-ekonomis. Alih-alih menyelamatkan Timah, pasangan merger yang semula tak bermasalah akhirnya malah bisa tertular penyakit. Perusahaan hasil merger bisa terjerembab pada problem yang menentukan kelangsungan hidup mereka sendiri seperti dihadapi Timah saat ini.

Apa boleh buat, kondisi Timah telanjur parah. Kinerja mereka, sejak awal tahun ini, terus memburuk ke tingkat sangat memrihatinkan. Arus kas bersih tercatat minus Rp 90 miliar. Sementara utang bersih menggunung Rp 296,7 miliar. Bisa dipahami jika nyawa Timah praktis hanya tinggal beberapa bulan lagi. Padahal, dalam kondisi seperti itu, peluang yang bisa membuat kinerja Timah segera beranjak membaik nyaris tak tergambar.

Itu karena masalah yang membelit Timah telanjur kompleks. Di satu sisi, harga timah di pasar internasional terjerembab begitu dalam: anjlok dari sekitar 5.700 dolar per metrik ton di awal tahun 2001 menjadi antara 3.500-3.750 dolar per metrik ton pada Oktober 2002. Padahal biaya pokok yang harus dikeluarkan Timah mencapai sekitar 4.000 dolar per metrik ton.

Harga timah di pasar dunia itu sendiri merupakan terendah sejak tiga dasawarsa terakhir. Harga komoditas tersebut tersuruk amburadul sebagai dampak resesi ekonomi global. Padahal resesi ini entah kapan berakhir. Tapi kalaupun dalam setahun ke depan masalah resesi ini sudah tak mencengkram lagi, nasib Timah sendiri mungkin telanjur masuk kubur.

Masalah lain yang begitu serius membuat Timah meranggas ini adalah fenomena penambangan liar di areal kerja mereka di Bangka dan Belitung. Aksi ilegal ini benar-benar marak hingga menggerogoti produktivitas Timah. Kenyataan tersebut, agaknya, dipicu dan dipacu oleh izin ekspor timah dalam bentuk bijih alias tanpa dilebur lebih dulu.

Kenyataan itu diperparah pula oleh aneka pungutan pihak pemda setempat atas nama otonomi daerah. Meski bukan spesifik dihadapi Timah atau perusahaan pertambangan lain, bagaimanapun aneka pungutan ini kian menggerogoti kondisi usaha Timah yang sudah berdarah-darah.

Justru itu pula, kombinasi masalah yang membelit Timah ini membuat gagasan merger terasa bukan langkah strategis. Selama masalah-masalah itu tak tuntas dibenahi dan dipecahkan -- lagi-lagi ini juga membutuhkan proses lama -- merger malah sangat mungkin membuat Timah malah menjadi virus yang membuat perusahaan hasil gabungan tidak sehat. Sementara langkah darurat yang bisa diharapkan menyelamatkan kelangsungan hidup Timah ini -- injeksi pemerintah -- sungguh tak mungkin. Keuangan pemerintah sendiri sedang cekak. Untuk menambal defisit APBN saja, pemerintah sudah kewalahan.

Jadi, haruskah Timah mengalami nasib tragis: tamat riwayat? Menurut ukuran rasional, agaknya, itu harus menjadi kenyataan. Apa boleh buat!***

Jakarta, 16 November 2001

Tidak ada komentar: