27 November 2001

Merger BRI-BTN

Gagasan pemerintah mengenai merger Bank BRI dan Bank BTN tampaknya lebih merupakan cermin kepanikan menyangkut kemungkinan rekapitalisasi kedua terhadap salah satu atau mungkin kedua bank tersebut. Maklum, karena rasio kecukupan modal (CAR) kedua bank terkesan masih potensial meluncur ke tingkat di bawah patokan ideal yang sudah digariskan Bank Indonesia: 8 persen pada akhir 2001 ini.

Dalam konteks itu, hasil stress test yang dilakukan Bank Indonesia menunjukkan bahwa BTN sangat terpengaruh kenaikan tingkat bunga dan depresiasi rupiah. CAR BTN turun terus seiring dengan kenaikan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dengan tingkat bunga SBI 12,5 persen, misalnya, CAR Bank BTN masih sekitar 14,81 persen. Ketika bunga SBI naik menjadi 14,5 persen, CAR BTN melorot menjadi 8,46 persen. Lalu manakala tingkat bunga SBI mencapai 16,5 persen, CAR menyusut menjadi 2,11 persen. Kini, bunga SBI anteng di atas 17 persen. Jadi, BTN terancam tidak bisa memenuhi CAR 8 persen pada akhir 2001.

Hasil stress test Bank Indonesia juga menunjukkan bahwa CAR BRI tak terkecuali berisiko turun, kendati tetap di atas 8 persen jika bunga SBI mencapai 17,5 persen. Hingga September lalu, CAR BRI ini tercatat 13 persen. Dirut BRI Rudjito menyatakan bahwa dengan penukaran 50 persen obligasi rekapitalisasi fixed rate yang dimiliki BRI -- senilai Rp 14,5 triliun -- menjadi obligasi variable rate, CAR BRI dia yakini bisa meningkat.

Di lain pihak, Dirut BTN Kodradi juga menepis kemungkinan bahwa BTN tak akan mampu memenuhi CAR 8 persen pada akhir 2001 ini. Dia menyebutkan, meski suku bunga SBI mencapai 17 persen, BTN masih mampu memenuhi CAR 8 persen pada akhir 2001 sesuai patokan Bank Indonesia.

Tapi Kodradi juga mengakui, BTN tengah mencari sejumlah cara untuk mencapai ketentuan modal yang ditetapkan Bank Indonesia. Salah upaya untuk menjaga kinerja BTN ini, katanya, adalah mengatasi macetnya kucuran dana subsidi kredit perumahan rakyat (KPR) dari pemerintah. Dia menambahkan, BTN telah membuat kesepakatan dengan Depkeu guna mengatasi dana subsidi KPR ini. Pemerintah sendiri sudah menyatakan komitmen menyediakan dana subsidi untuk 2001.

Toh, tampaknya, pemerintah tetap galau -- atau bahkan panik mengenai posisi modal BRI maupun BTN ini -- sehingga terlontar gagasan mengenai perlunya kedua bank dimerger. Maklum, karena jika CAR kedua bank terus tergelincir, mau tidak mau pemerintah memang harus melakukan injeksi rekapitalisasi untuk kali kedua.

Bagi pemerintah, kemungkinan itu menjadi masalah yang membuat panik karena kemampuan sudah sangat cekak. Jangankan menggelar lagi program rekapitalisasi -- notabene jelas bakal menambah beban APBN -- bahkan sekadar menambal defisit anggaran sekarang ini pun pemerintah sudah amat keteteran. Apa mau dikata karena program-program yang semula diandalkan untuk itu, sejauh ini belum membuahkan hasil mengesankan. Program privatisasi BUMN, misalnya, terus-menerus molor -- dengan berbagai alasan.

Di lain pihak, hasil penjualan aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) juga masih jauh di bawah target. Sementara program divestasi baru memberikan sedikit kemungkinan: jika penjualan saham BCA benar-benar terlaksana sesuai rencana terakhir, yakni pada akhir tahun ini. Toh itu tak bakal serta-merta mampu menutup defisit APBN yang telanjur menganga demikian lebar. Padahal kucuran pinjaman IMF sebesar 400 juta dolar masih saja belum pasti benar segera jadi kenyataan.

Walhasil, kemampuan pemerintah memang sangat cekak. Bisa dipahami manakala menyadari kemungkinan BRI dan BTN harus diinjeksi lagi modal, pemerintah serta-merta terkesan panik. Merge kedua bank itu pun segera mereka lontarkan.

Tapi, soalnya, kalau sekadar untuk menghindari kemungkinan rekapitalisasi jilid dua, gagasan merger BRI-BTN ini seolah menafikkan soal kemampuan keuangan yang telanjur cekak tadi. Betapa tidak, karena merger pun membutuhkan ongkos tidak kecil.

Lagi pula, jika situasi dan kondisi ekonomi tetap tak kondusif seperti sekarang, bisa-bisa merger hanya menunda masalah: posisi modal bank hasil merger dalam beberapa tahun mendatang mungkin sudah goyah lagi.

Kalau soal posisi modal yang menjadi alasan, merger bukan solusi populer untuk menyehatkan BRI dan BTN. Mengundang investor baru menginjeksikan modal (private placement) mungkin bisa menjadi alternatif dalam situasi darurat yang dihadapi pemerintah saat ini. Dibanding merger, private placement relatif tak membebani keuangan pemerintah. Sementara, di sisi lain, kebutuhan utama -- injeksi modal -- tetap terpenuhi. Selebihnyam kehadiran investor melalui private placement bisa lebih menggulirkan good corporate governance alias membuat bank bersangkutan lebih sehat.

Dengan itu pula, keruwetan-keruwetan teknis yang menyertai merger bisa dihindari. Ongkos sosial berupa pemutusan hubungan kerja sekian banyak karyawan di kedua bank juga tak perlu dilakukan. Lalu, masyarakat luas tak perlu kehilangan layanan spesifik yang selama ini sudah diemban BRI dan BTN. Bahkan kedua bank bisa lebih kukuh lagi menegakkan peran spesifik masing-masing.

Memang, jika BRI dan BTN jadi dimerger, masyarakat pasti merasa sangat kehilangan. Terlebih bila pola merger yang dipilih pemerintah adalah melebur kedua bank menjadi sosok yang benar-benar baru seperti kasus kelahiran Bank Mandiri: kibar BRI dan BTN praktis tinggal sejarah.

Karena merger pula, boleh jadi orientasi yang selama ini diemban BRI dan BTN jadi tak fokus lagi. Dalam sosok bank hasil merger, atas berbagai pertimbangan, komitmen BRI terhadap wong cilik mungkin berkurang atau bahkan pupus. Terlebih -- lagi-lagi sebagaimana sudah ditunjukkan dalam kasus kelahiran Bank Mandiri -- merger kemungkinan memangkas jaringan masing-masing bank. Dengan demikian, basis ekonomi wong cilik di desa-desa yang selama ini begitu intens ditekuni BRI praktis ditinggalkan.

Jelas, itu membuat masyarakat kecil jadi kehilangan sandaran. Padahal bank-bank lain belum siap atau mungkin malah enggan mengisi optimal peran yang ditinggalkan BRI ini. Maklum karena untuk bisa merengkuh sampai ke pelosok-pelosok desa dibutuhkan investasi tidak sedikit untuk membangun infrastruktur.

Jaringan BRI yang sudah begitu kuat merambah hingga ke pelosok-pelosok ini memang tak tertandingi oleh bank nasional mana pun. Bahkan jajaran bank pembangunan daerah ataupun bank perkreditan rakyat (BPR) sendiri harus mengakui keunggulan BRI ini. Tapi, itu tadi, merger kemungkinan malah memangkas jaringan tersebut. Tapi Andai pun pemangkasan jaringan ini tak dilakukan, organisasi bank hasil merger pasti akan sangat gendut alias tak efisien.

Bagi BTN sendiri, boleh jadi merger membuat keistimewaan mereka selama ini -- spesifik bergerak di bidang perumahan -- jadi kabur atau dikubur. Paling tidak, tak ada jaminan bahwa bank hasil merger tetap mempertahankan peran spesifik BTN selama ini secara penuh. Apalagi alasan untuk itu sudah tergelar: pemerintah kelak tak lagi menyalurkan kredit pemilikan rumah (KPR) bersubsidi.

Tapi, soalnya, tantangan di bidang perumahan telanjur menggunung. Itu tak mungkin bisa begitu saja dipercayakan kepada bank-bank lain. Pihak Real Estate Indonesia (REI) sendiri, karena itu, tak berharap merger BTN dan BRI menjadi kenyataan. Bagi mereka, selama ini BTN sudah berperan bagus dan masih bisa diharapkan tetap elok menggelar layanan sesuai fokus masing-masing.

Walhasil, gagasan merger BRI-BTN ini lebih baik dilupakan saja. Terlebih karena kondisi keuangan tak mendukung, pemaksaan merger hanya akan menumbuhkan kesan bahwa pemerintah tak memiliki sense of crisis.

Namun upaya-upaya mempercantik kondisi keuangan maupun kinerja operasional kedua bank tetap perlu dilakukan. Kalau saja private plecement tak menjadi alternatif, entah karena alasan apa pun, manajemen BRI dan BTN perlu diberi kesempatan melakukan langkah-langkah yang sudah mereka siapkan dalam rangka memperkuat aspek permodalan ini -- notabene merupakan faktor yang telah mengilhami pemerintah melontarkan gagasan memerger kedua bank. Toh manajemen BTN, misalnya, antara lain sedang berupaya mengatasi macetnya dana subsidi KPR. Agaknya, upaya tersebut bisa diandalkan. Yang penting, komitmen pemerintah sendiri tentang itu jangan sekadar basa-basi.

Di sisi lain, manajemen BRI juga sudah mencanangkan program privatisasi. Ini juga bagus ketimbang memaksa mereka merger dengan BTN. Untuk itu, manajemen BRI sudah berencana menukar obligasi berbunga tetap dengan obligasi berbunga mengambang senilai Rp20,14 triliun. Agaknya, rencana tersebut mampu mempercantik kinerja BRI. Justru itu, pada saatnya, investor bisa diharapkan tertarik membeli saham mereka. Tinggal bagaimana manajemen BRI bersama pemerintah pandai-pandai memilih waktu yang tepat dalam melakukan privatisasi ini.***

Jakarta, 27 November 2001

Tidak ada komentar: