23 November 2001

Merger Empat Bank

Jika melihat kebutuhan mendesak yang harus bisa dipenuhi pemerintah saat ini -- menutup defisit APBN --, merger bank sebenarnya tak terbilang strategis. Langkah yang relevan dan urgen ditempuh pemerintah justru divestasi BUMN maupun aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Tapi merger empat bank di bawah pengelolaan BPPN -- Bank Bali, Bank Universal, Bank Prima Ekspres, dan Bank Patriot -- terpaksa menjadi pilihan pemerintah karena bank-bank itu tak cukup meyakinkan bisa cepat laku dan menghasilkan dana relatif besar jika didivestasi sekarang. Apa boleh buat karena keempat bank memang tak terbilang aset menggiurkan seperti Bank BCA.

Kondisi beberapa bank itu, meski sudah memperoleh injeksi modal melalui program rekapitalisasi, memang masih saja payah. Masih mengkhawatirkan. Rasio kecukupan modal (CAR) Bank Universal, misalnya, hanya 4,1 persen. Itu jauh di bawah ketentuan Bank Indonesia yang mematok CAR 8 persen pada akhir 2001 ini. Begitu pula Bank Bali: meski memiliki CAR 13,01 persen, mereka digayuti kredit bermasalah sebesar 15,53 persen. Padahal Bank Indonesia menggariskan, pada akhir 2001 tingkat kredit bermasalah di bank-bank nasional maksimal 5 persen.

Jadi, jika tak segera dimerger, sangat mungkin salah satu atau beberapa bank terpaksa terkena tindak penghentian operasi seperti belum lama ini dialami Unibank. Padahal tindakan itu riskan. Sistem perbankan nasional secara keseluruhan bisa goyah. Di samping itu, penghentian operasi bank juga harus memakan ongkos tidak kecil, khususnya menyangkut nasib dana masyarakat di bank-bank bersangkutan yang masih terkait program penjaminan pemerintah.

Memang, langkah merger sendiri bukan tanpa ongkos. Bagaimanapun langkah tersebut tetap membutuhkan biaya tidak kecil. Sebut saja ongkos rasionalisasi karyawan.

Tapi ongkos itu relatif lebih ringan dibanding dampak ekonomis maupun sosial-politis tindak penutupan bank yang mungkin harus dilakukan pemerintah jika merger tak segera dilakukan. Dengan kata lain, merger merupakan pilihan paling mungkin untuk menyelamatkan keempat bank di bawah BPPN itu.

Sebenarnya, untuk menyelamatkan bank-bank itu pemerintah bisa menempuh alternatif lain: melakukan injeksi modal melalui rekapitalisasi. Tapi ini sangat tidak populer. Di samping secara tidak langsung menguakkan kenyataan bahwa rekapitalisasi yang sudah dilakukan tak cukup efektif, alternatif itu juga jelas hanya akan menambah beban pemerintah. Padahal, itu tadi, untuk menambal defisit APBN 2001 saja pemerintah sudah sangat keteteran. Jadi, jika rekapitalisasi kembali dilakukan, itu jelas tidak lucu.

Soalnya sekarang, merger empat bank di bawah pengawasan BPPN itu sendiri harus benar-benar menjadi solusi yang efektif. Jangan sampai terjadi, merger hanya menunda masalah karena kelak ternyata bank hasil merger tetap saja menuntut langkah penyelamatan yang harus menyedot dana dalam jumlah besar.

Kemungkinan itu bukan tidak mungkin tertorehkan jika konsep dan strategi merger tak benar-benar jitu. Contoh kasus tentang itu sudah gamblang tergelar. Akuisisi Bank Danamon atas delapan bank berstatus diambil-alih (BTO) pada tahun 2000, misalnya, membuat pemerintah harus mengucurkan tambahan biaya rekapitalisasi senilai Rp 28 triliun. Itu karena aset buruk di bank-bank yang diakuisisi harus dipindahkan ke AMC-BPPN. Lalu, sebagai konsekuensi penjaminan deposito, pemerintah juga harus menginjeksikan tambahan obligasi rekapitalisasi ke Bank Danamon senilai Rp 28 triliun.

Sayangnya, justru konsep dan stretegi merger empat bank ini belum dipaparkan pemerintah. Bahkan sekadar bentuk mergernya itu sendiri -- apakah salah satu bank mengakuisisi tiga bank lain seperti tempo hari dilakukan Bank Danamon terhadap delapan bank BTO, ataukan menjelmakan bank baru seperti kasus penggabungan empat bank BUMN -- Bank Bumi Daya, Bank Pembangunan Indonesia, Bank Exim, dan Bank Bank Dagang Negara -- menjadi Bank Mandiri.

Mudah-mudahan itu bukan cermin ketergesaan pemerintah sekadar untuk menyelamatkan keempat bank bersangkutan. Jika itu yang terjadi, sungguh mencemaskan karena risiko di kemudian hari jelas lagi-lagi harus berupa injeksi dana pemerintah: rekapitalisasi jilid kedua. Padahal, seperti sudah disinggung, merger menjadi pilihan justru untuk menghindari kemungkinan pemerintah melakukan injeksi rekapitalisasi ini -- sekaligus berharap divestasi bank hasil merger kelak membuahkan hasil optimal.***

Jakarta, 23 November 2001







Tidak ada komentar: