02 Maret 2015

Pulihkan Rasa Aman

Tindak perampasan sepeda motor belakangan ini, yang bisa dikatakan marak -- terutama di Tangerang, Bekasi, dan Depok -- telah membuat masyarakat dicekam ketakutan. Aparat kepolisian harus memberantas tindak kejahatan begal sepeda motor ini. Sebagai pelindung masyarakat, polisi wajib mengembalikan rasa aman khalayak luas.

Masyarakat kini dicekam waswas mengendarai sepeda motor -- terutama di malam hari -- karena pelaku pembegalan bukan cuma merampas kendaraan, melainkan juga tak segan melukai korban secara sadistis. Seperti kasus di Jalan Margonda dan Jalan Juanda, Depok, Januari  lalu, pelaku menusuk korban berkali-kali hingga tewas.

Para pelaku pembegalan motor tampaknya memang bukan cuma berbekal nyali besar bin nekad, melainkan juga -- seperti berbagai laporan yang diterima polisi -- melengkapi diri dengan senjata berupa pisau, golok, samurai, bahkan juga senjata api. Mereka biasa beraksi di malam hari, terutama di jalur jalan yang sepi dan minim penerangan.

Polisi mencatat, tindak pencurian sepeda motor di wilayah hukum Polda Metro Jaya selama Januari 2015 saja mencapai 260 kasus -- notabene sebagian besar berupa aksi pembegalan. Rangkaian kasus pembegalan sepeda motor itu tak pelak membuat rasa aman masyarakat nyaris sirna. Padahal, tak sedikit masyarakat Tangerang, Bekasi, juga Depok mencari nafkah di Jakarta dan biasa pulang setelah hari larut.

Mereka yang mengandalkan sepeda motor sebagai sarana transportasi itu otomatis sangat berisiko menjadi korban tindak pembegalan dalam perjalanan pulang di malam hari. Wajar kalau kelompok tersebut hari-hari ini dicekam kecemasan.

Kecemasan masyarakat atas kemungkinan menjadi korban begal sepeda motor ini kian menjadi karena polisi terkesankan tidak berdaya atau paling tidak  kewalahan. Polisi seperti keteteran dalam mengatasi tindak kejahatan tersebut.

Memang polisi sudah membekuk sejumlah pelaku tindak pembegalan ini. Beberapa terduga pelaku bahkan ditembak hingga mati. Tetapi itu tak serta-merta membuat keresahan masyarakat lantas sirna, karena laporan korban pembegalan sepeda motor terus saja berdatangan ke kantor polisi.

Kenyataan itu tak boleh terus berlangsung. Ketakutan dan kegeraman masyarakat terhadap kejahatan begal motor tak boleh sampai berkembang menjadi aksi massa main hakim sendiri terhadap pelaku yang tertangkap.

Adalah berbahaya jika amuk massa main hakim sendiri dengan cara menghajar pelaku hingga babak belur atau bahkan membunuhnya secara sadistis dianggap sebagai cara efektif memberantas kejahatan. Itu berbahaya karena bisa membuat tertib bermasyarakat menjadi kacau, sekaligus meruntuhkan moral khalayak luas.

Selain itu, marwah kelembagaan polisi juga jelas menjadi hancur. Di tengah fenomena massa main hakim sendiri secara beringas dan sadistis terhadap pelaku kejahatan, polisi tidak lagi dianggap serta tidak dihargai sebagai pengayom dan pelindung masyarakat.

Fenomena seperti itu sungguh tak boleh terjadi. Oleh sebab itu, tindak kejahatan begal sepeda motor yang sudah meresahkan masyarakat harus segera bisa diberantas. Polisi wajib mengerahkan segala daya, sehingga rasa aman di masyarakat bisa pulih.

Sungguh aneh jika polisi seperti tak berdaya menghadapi kejahatan begal motor ini. Aneh, karena polisi jelas memiliki kemampuan hebat untuk memberantas aksi-aksi kejahatan, termasuk tindak pembegalan sepeda motor. Bukankah polisi bahkan mampu memerangi kejahatan terorisme yang lebih njelimet ketimbang fenomena begal motor?

Polisi sebenarnya sudah mengidentifikasi peta kejahatan begal sepeda motor ini. Polisi menyebut bahwa pelaku begal tersebut di Jabotabek adalah kelompok Lampung, kelompok Indramayu, kelompok Malingping, dan kelompok Palembang. Polisi juga sudah mengidentifikasi bahwa aksi begal sepeda motor di Jabodetabek terutama sering terjadi di 54 titik.

Karena itu, sama sekali tidak masuk akal kalau tindak pembegalan sepeda motor tetap marak seperti sekarang ini. Mengapa polisi seperti keteteran?***

Jakarta, 2 Maret 2015